Kamis, November 22, 2007

Poncke Princen Prize 2007

Rabu, 02 Mei 2007,
Lagi, Inu Kencana Raih Penghargaan

JAKARTA - Keberanian dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Inu Kencana Syafiie membongkar praktik kekerasan di kampusnya mendapat apresiasi. Kemarin kandidat doktor Universitas Padjadjaran Bandung itu meraih penghargaan dari Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM).

Bersama tokoh HAM almarhum Munir dan SCTV, Inu yang kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, 55 tahun lalu, itu meraih Princen Human Rights Prize 2007.

Pada penghargaan itu, Inu masuk kategori Human Rights Promotor and Educator, sedangkan Munir masuk kategori Human Rights Life Time Achievement. "Untuk SCTV kami kategorikan sebagai Human Rights Campaigner atas liputan mereka melaporkan kekerasan dari balik tembok IPDN," kata Direktur Eksekutif LPHAM Ahmad Hambali dalam jumpa pers di kantor Kontras kemarin.

LPHAM didirikan HJC Princen dan Yap Thiam Hien pada 29 April 1966. LPHAM yang tahun ini berumur 41 tahun juga membidani beberapa LSM HAM seperti LBH, YLBHI, Kontras, dan sejumlah lembaga lain. "Baru kali pertama ini kami memberikan penghargaan, karena peran ketiga pihak itu sangat besar dalam penegakan HAM," tambah Dadang Trisasangko yang menjadi salah seorang juri dalam proses itu.

Selain Dadang, yang bertindak sebagai juri adalah Asmara Nababan, Bambang Widjojanto, Melani, Ori Rahman, dan M.M. Billah. Penghargaan untuk mereka bertiga rencananya diserahkan hari ini di kantor Partnership di Gedung Surya, Jl M.H. Thamrin.

Mengapa Inu dan SCTV terpilih? "Problem IPDN adalah hal serius karena menyangkut orang-orang yang kelak mempunyai kekuasaan, sehingga memperbaiki IPDN adalah memperbaiki pemerintahan," kata Dadang Ditemui secara terpisah, istri Munir, Suciwati, menyambut baik penghargaan itu. (naz)
http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=283357

Napak Tilas

Peristiwa Purwodadi
"Benang Merah Mau Menjerat Purwodadi"

OLEH BUDI SETIYONO


1 OKTOBER 1965, dengan menggunakan pasukan yang dikuasainya, ex. Kolonel Sahirman merebut dan menguasai markas Kodam VII/Diponegoro. Dari 7 batalion infantri, 5 batalion memihak Untung. Sahirman menyatakan dirinya sebagai Komandan Gerakan 30 September (G30S) di Jawa Tengah.

Pukul 13.00, Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang ia kuasai, yang kemudian digunakan untuk menyiarkan pengumuman No./PENG/GERAK/30 Sept/1965. Isinya mendukung sepenuhnya tindakan G30S, mengambil tindakan terhadap pendukung Dewan Jenderal, dan meminta segenap anggota angkatan bersenjata serta masyarakat agar tetap tenang dan waspada. Selanjutnya, Letnan Kolonel Inf. Usman Sastrodibroto ditugaskan untuk mengoper pimpinan Kodam.

Namun gerakan Untung di Jakarta gagal. Kesatuan-kesatuan yang mendukungnya di Jawa Tengah tak punya alasan untuk bertahan terus. Mereka menyatakan kesediaannya untuk melaksanakan perintah presiden dan panglima Kodam Brigjen Suryosumpeno. Tapi, karena loyalitas mereka amat diragukan, panglima divisi menempatkan mereka di posisi tempur untuk menghadapi Malasya di Sumatera, dan memulangkan pasukan yang loyal dari Sumatera ke Jawa Tengah.

Pergantian itu tak bisa dilaksanakan segera karena tak tersedianya sarana angkutan. Untuk membantu permulihan keamanan dan ketertiban, pemerintah mengirimkan pasukan RPKAD yang dikomandoi Kolonel Sarwo Edi. Tanggal 19 Oktober, satu batalion lengkap di bawah pimpinan Mayor Santoso tiba di Semarang. Hasilnya, Kolonel Sahirman, Kolonel Maryono, dan Kolonel Sukirno, ditangkap.

Secara perlahan kekuatan PKI mulai dihancurkan. Basis PKI pun bergeser ke Blitar Selatan, tapi juga gagal. Mereka kemudian mengubah gerakan, dan hendak mencoba menjadikan daerah Merapi-Merbabu-Complex (MMC) sebagai basis. Dan juga membentuk jaring-jaring kegiatan di beberapa daerah, termasuk Purwodadi.

Sisa-sisa G30S yang bergerak ke Purwodadi telah mengeluarkan brosur yang diberi nama "Mimbar Rakyat"; dengan kode "Mowo". Menurut harian Suara Merdeka, 10 Maret 1969, brosur terbitan terakhir berisi tulisan yang mengkritik Presiden Soeharto dan Pemerintah Daerah Jawa Tengah yang telah menanggapi Repelita dengan modernisasi desa. Selain itu, mereka juga melancarkan gerilya politik dengan meniupkan desas-desus yang dilepaskan ke luar agar tempat persembunyiannya aman.

Tahun 1969 ini, menurut Dandim 0717 P. Letkol Tedjosuwarno dalam laporannya kepada Menteri Penerangan Budiardjo, akan dijadikan sebagai tahun H bagi gerakan PKI. Dan berdasarkan dokumen dan seruan PKI kepada anggotanya agar selalu dalam perjuangannya mendasarkan diri pada historismenya, yaitu bahwa Purwodadi adalah kota tempat pembentukan pertama pasukan merah (tentara PKI), pemberontakan 1926, Madiun Affair, dan Pemberontakan 30 September 1965.

Purwodadi merupakan persimpangan jalan yang penting untuk menuju Solo, Surabaya, Semarang, dan Kudus. Namun jalan dari Purwodadi menuju daerah lain rusak. Letaknya juga hampir tertutup karena jalur komunikasi boleh dikatakan hancur total. Kondisi itu dimanfaatkan untuk melancarkan gerakan, dan mengadakan pertemuan.

Operasi pun dilancarkan angkatan darat selama 3 hari, 15-17 Pebruari. Dari operasi itu, seperti dimuat di Suara Merdeka, 10 Maret 1969, ditemukan 7 ruang bawah tanah. 5 dalam keadaan kosong, dan 2 diantaranya terdapat 6 orang yang sedang melakukan rapat. Mereka dipaksa keluar dengan cara memberi asap pada mulut ruang. Disita pula senjata berupa sten gun, "senjata jet" atau panah berbentuk seperti karaben yang terbuat dari kayu dengan peluru ruji sepeda yang diruncingkan dan diberi racun mematikan. Gembong PKI Pono dan Bigo Pranoto (tokoh PKI Jawa Tengah) juga ditangkap dalam operasi yang dilancarkan Kodam VII/Diponegoro.

Dalam suasana rawan semacam itu, muncul isu adanya pembunuhan massal dan penyiksaan kejam sekitar 800 orang di Purwodadi yang dilakukan kesatuan-kesatuan Jon 404 dan Jon 409 beserta Kodim setempat. Pelontarnya adalah Ketua II Lembaga Hak Asasi Manusia Princen, yang bersama 2 wartawan Belanda Kolb dari Haagsche Courant dan E. van Caspel, yang mengunjungi pastor Wignjosumarto di Purwodadi. Pastur itu memberi penjelasan yang ia dapat dari orang-orang Katolik yang datang kepadanya untuk menyampaikan dosa-dosa dan meminta pengampunan.

Princen yakin bahwa sekitar 800 orang telah dibunuh dengan pukulan batang-batang besi pada kepala, tapi jumlah itu mungkin masih lebih tinggi. Pembataian massal itu terjadi setelah dua bulan penggulungan orang-orang yang dinyatakan sebagai komunis, yang dimasukkan ke dalam kamp-kamp tahanan di Purwodadi, Gundi dan Kuwu.

Pemberitaan dalam surat kabar Bulgaria Rabotaiche Skodele malah lebih tendensius. Surat kabar ini memuat pernyataan Princen yang mengatakan bahwa 2-3 ribu orang telah dibunuh oleh angkatan darat dan orde baru, ratusan orang dipancung kepalanya, menggali lubang kubur sendiri, pemeriksaan disertai siksaan, dan banyak pula yang dipaksa "bunuh diri".

Pangdam VII/Diponegoro Mayjen Surono menyangkalnya. Menurutnya, sejumlah 860 orang G30S yang ditahan menjelang tutup tahun yang dimulai sejak 1 Oktober 1968 memang ada di kamp-kamp tahanan.

Mayor Suhirno, Kepala Penerangan Kodam VII/Diponegoro selaku juru bicara Peperda Jateng/DIY mengatakan, jumlah tawanan di daerah Kuwu seluruhnya berjumlah 700 orang.Penggerebekan dilakukan di salah satu gereja di Purwodadi, karena terbukti terdapat pelarian G30S dari Yogyakarta. Dalam operasi pembersihan itu terdapat pula beberapa warga negara asing yang tertangkap.

Isu itu tampaknya menarik perhatian. Panglima Angkatan Darat Jenderal Panggabean memerintahkan tim khusus untuk menyelidiki Peristiwa Purwodadi itu. Bahkan masalah itu menjadi pembicaraan dalam Sidang Kabinet Terbatas pada 20 Maret 1969, meski pemerintah secara resmi membantah kebenaran Peristiwa Purwodadi.

Namun isu itu terus bergulir, dan menarik pihak luar. Beberapa surat kabar asing seperti Aljazair, beberapa negara Afrika, Muangthai, Polandia, Phillipina dan Bulgaria memberitakan tanpa bumbu komentar. Harian kiri Afton Bladet di Swedia memuatnya dengan disertai reaksi dalam subeditorialnya. Dikatakan agar ada Komisi Penyelidik Internasional untuk mentackle "politik pemusnahan rakyat" di Indonesia.

Dari sumber resmi, demikian Suara Merdeka, 20 Maret 1969, diberitakan bahwa beberapa perwakilan asing dari negara-negara penting yang berada di Jakarta juga telah melaporkan kepada pemerintahan masing-masing mengenai ketidakbenaran peristiwa itu. Laporan itu didasari penyelidikan yang dilakukan oleh tiap-tiap perwakilan asing itu secara intensif dan diam-diam.

Gubernur Jawa Tengah Moenadi yang berada di Jakarta segera mengeluarkan press release, yang isinya: "Saya hanya ingin membeberkan sadja, sebagian dari sedjarah perdjuangan kita di Djateng. Pada tahun 1948 waktu pasukan PKI menduduki Karesidenan Pati, ada seorang Belanda melarikan diri dari kesatuannya dan menggabungkan diri kepada pasukan PKI di Pati. Orang itu adalah HJC Princen (waktu itu belum hadji). Pada waktu pasukan-pasukan pemerintah RI dibawah pimpinan Letkol. Koesno Oetomo (sekarang Mayjen.), Mayor Kosasih (sekarang Mayjen), menduduki kembali Karesidenan Pati, maka Princen jang tadinja ikut PKI dioper oleh pasukan Siliwangi cq Kemal Idris dan dibawa ke Jabar."

"Pada waktu itu saja sudah tjuriga, apa mungkin seorang serdadu Belanda ikut komunis. Apakah tidak ada kemungkinan bahwa ia adalah dari Partai Komunis Nederland?"

"Bahwa saudara HJC Princen itu sekarang sudah menjadi WNI, bahkan sudah hadji, tidak saj persoalkan. Jang saja persoalkan ialah timbulnja pertanyaan "apakah orang jang dulu (HJC Princen) diragukan dan saja duga dari Partai Komunis Nederland seperti Abdulmadjid SH, Aetiadji, dan lain-lain hingga sekarang belum diclearkan?"

Press release ini mengakibatkan Princen mengadukan Gubernur Moenadi ke Jaksa Agung. Sayangnya tak ada berita apakah aduan Princen ditanggapi Jaksa Agung.*
http://www.mesias.8k.com/peristiwapurwodadi.htm

Renungan

Burung Pipit yang Tak Pernah Menyesal
oleh Eric Sasono
Redaktur Rumahfilm.org

Non, Rien De Rien, Non, Je Ne Regrette Rien
Ni Le Bien Qu'on M'a Fait, Ni Le Mal

Seratus empat puluh menit itu nyaris saya sesali apabila lagu berbahasa Prancis di atas tak datang pada Jumat malam itu. Saya memang menantikannya, tetapi tak pernah menduga datangnya lagu itu begitu kuat.

Saya menonton La Vie En Rose, pada Jumat malam 2 November lalu. Film itu menjadi film penutup pada Europe On Screen, festival film Eropa di Jakarta tahun 2007. Film karya Oliver Dahan ini adalah sebuah biopik penyanyi Perancis, Edit Piaf (1915 – 1963). Waktu saya bekerja di Delta FM --ketika itu masih favourit oldies station-- saya sering mendengarkan lagu itu: Non, Je Ne Regrette Rien.

Ada alasan kenapa lagu tadi membuat terasa begitu kuat. Film La Vie En Rose ini adalah sebuah biopik yang berarakan. Episode demi episode lewat bagai awan tergeret angin membawa muatan emosinya sendiri. Alur yang melompat maju mundur dengan tokoh beritu banyak membuat saya kehilangan peta plot film. Emosi Edith juga nyaris tak terlacak perkembangannya dalam keseluruhan bangunan film. Yang bisa diikuti hanya tema demi tema yang dibangun dalam sekuen demi sekuen film itu.

Film ini menceritakan hidup Edith Piaf yang dramatis. Terlahir dengan nama Edith Giovanna Gassion, ia mengubahnya menjadi Edith Piaf, burung pipit. Ibunya penyanyi jalanan dan ayahnya pemain akrobat sirkus. Edith kecil hidup bersama neneknya di rumah bordil (di situs RFI, rumah neneknya ini dikatakan sebagai sebuah peternakan). Edith tak kekurangan kasih sayang di sana karena ia jadi pembawa keriangan, kompensasi bagi para pekerja seks di situ. Maka ketika ayahnya memaksanya pergi, Edith menangis. Juga Titine yang sempat membawa Edith berdoa kepada Santa Theresa untuk kesembuhan matanya yang hampir buta karena suatu penyakit.

Edith kemudian berkelana di jalan, bernyanyi ditemani sahabatnya, Simone yang ia panggil Momone. Sampai suatu hari Louis Leplee melihatnya. Leplee yang mengelola sebuah cafe Le Gerny dekat Champs De Elysees, membawa Edith ke sana. La Mome Piaf mulai dikenal orang dan diliput media. Sampai Leplee mati akibat pembunuhan dan Edith dicurigai terlibat di dalamnya. Lolosnya Edith dari kecurigaan tak diceritakan dalam film ini, dan kemudian kita diantarkan kepada proses mentoring Edith yang melelahkan. Mentor itu bernama Raymond Asso yang mengajar Edith dengan ketelitian yang menggetarkan.

Dari situ, keterkenalan tinggal selangkah di depan Edith, majulah ia ke bawah sorot lampu itu; hingga ke Amerika. Di sana, ia bertemu cinta sejatinya, Marcel Cerdan, seorang petinju Prancis yang sedang menuju puncak karirnya. Mereka menjalin cinta sekalipun Marcel sudah menikah. Kematian Marcel kemudian membawa Edith pada kehancuran jiwanya. Ia terlibat pemakaian obat-obatan dan ini membuat kondisi tubuhnya jadi sangat buruk.

Malam terakhir bagi Edith itu datang. Perempuan bertubuh kecil itu berumur 48 tahun ketika ia sudah sulit untuk jalan dan tampak jauh lebih tua dari usianya. Ia sudah sulit untuk tampil. Tapi Non, Je Ne Regrette Rien terlalu menggodanya. Ia tampil di Olympia dengan lagu itu, yang sekaligus menutup film ini.

Film karya sutradara Olivier Dahan ini dipenuhi tokoh dan perpisahan Edith yang tak jelas dengan para tokoh itu. Mulai dari ibunya, lalu ayahnya, Titine, Simone alias Momone, suaminya Louis Dupont (tampil selintasan di film ini), anaknya Marcelle (yang muncul lebih selintasan lagi), Raymond Asso, kekasihnya Marcel Cerdan dan seterusnya. Penonton seperti tak diberi kesempatan menyelami karakter-karakter di seputar Edith ini dan mengapa mereka ada.

Ini memang film tentang seorang manusia yang memilih agar hidup berpusar padanya --semata-mata padanya-- dan bagai tak berikatan apa pun dengan sekelilingnya. Hidup boleh keras, boleh lembut, boleh nikmat, boleh pedih, boleh hiruk, boleh hening. Tapi hidup adalah hidup yang terus berjalan berpusar di satu orang: Edith Piaf, dan itu cukup bagi Edith. Tentu saja dimensi bagi peristiwa jadi tipis dan kurangnya informasi sedikit membingungkan, tapi jelas sekali bahwa Dahan sedang membawa kita mengarungi lautan emosi dalam kehidupan Edith Piaf.

Maka ketika ia bernyanyi di ujung film: Non, Rien De Rien, Non, Je Ne Regrette Rien, itulah puncaknya. Inilah hidup yang tak akan disesali oleh Edith Piaf. Maka ketika ia mendengar lagu ini pertamakali dari komposer yang menawarkannya, Edith berteriak: itu lagu saya!!

Dan ending film ini membawa saya pada ingatan di suatu siang pada 1997.

Saya mewawancarai seseorang bernama HJC Princen. Orang ini dikenal di kalangan dekatnya dengan panggilan Poncke Princen. Ia seorang prajurit KNIL Belanda yang desersi dan kemudian beralih membela Republik Indonesia. Ia ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan. Kemudian pasukan Siliwangi membebaskannya dan ia ikut bersama pasukan Siliwangi melakukan long-march dari Yogyakarta ke Bandung yang terkenal itu. Ia ingat di sepanjang jalan mereka menyanyikan lagu Lilly Marlene, lagu yang dpopulerkan diva paling terkenal pra-Perang Dunia II, Marlene Dietrich (Marlene muncul selintas dalam film La Vie En Rose).

Poncke kemudian menjadi seorang yang tak bisa diam. Ia terus memprotes sana sini. Di masa Jepang, ia ditahan oleh Jepang. Di masa Sukarno, ia memprotes Sukarno dan dipenjara. Di masa Soeharto ia juga memprotes Soeharto dan dipenjara. Bahkan ketika masih di Belanda, ia dipenjara oleh pemerintah pendudukan Jerman. Setiap pemerintahan di negeri yang ditinggalinya seperti alergi padanya. Sepanjang hidupnya, ia seperti seorang gerilyawan dan terus berteriak untuk membela apa yang disebut hak asasi manusia.

Sekalipun akibatnya ia sempat ditolak untuk masuk ke Belanda karena masih dianggap sebagai pengkhianat di sana. Ia jelas kecewa, sekalipun hal itu sudah merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihannya. Saya mendengar namanya lewat media, tapi saya cukup menghormati orang ini, sekalipun dari jauh saja.

Waktu saya temui itu, Poncke sudah berkursi roda. Ia bicara dengan tak tergesa. Suaranya pelan dan nyaris berbisik. Tapi sesekali suaranya meninggi seperti marah. Ini terjadi ketika saya bertanya mengenai soal-soal politik. Soeharto sedang di ujung kekuasaannya, dan Poncke termasuk yang sejak lama ikutan menggerogoti kekuasaan Soeharto dengan omongan kerasnya. Tapi secara umum, suasana wawancara terasa hangat dan akrab, penuh dengan cerita, kenangan, dan tawa kecil yang lepas.

Sampai saya bertanya kepadanya:

“Poncke. Seandainya Poncke bisa memilih hidup kembali, Poncke memilih untuk menjadi orang Belanda atau orang Indonesia?”

Pertanyaan itu membuatnya terdiam sejenak, dan memandangi saya dengan senyum. Seakan ia sudah mengantisipasi pertanyaan semacam ini. Lalu ia menjawab dengan pelan, nyaris berbisik.

“Saya ingat sebuah lagu dari Edith Piaf, Non, Je Ne Regrette Rien.

Lalu ia bernyanyi dengan suaranya yang lirih.

Non, Rien De Rien

Non, Je Ne Regrette Rien

“Tidak, saya tidak menyesal...,” kata Princen. “Ini hidup saya. Apa yang sudah saya alami tak akan saya sesali. Inilah hidup saya....”

Saya terdiam mendengar nyanyiannya. Dan itulah akhir wawancara saya.

Sepuluh Tahun jarak kedua peristiwa itu. Dua orang di dua jaman terhubung oleh sebuah lagu. Baik Edith Piaf dan Poncke Princen sama-sama memiliki pusaran hidup mereka, dan saya seperti menjadi saksi yang jauh, yang terhubung samar-samar dengan keduanya. Apakah saya beruntung? Mungkin tidak --apakah arti hidup orang lain bagi saya.

Tapi inspirasi memang berjalan jauh. Poncke Princen jelas terinspirasi oleh Edith Piaf, si burung pipit yang tak pernah menyesali hidupnya. Mungkin Poncke akan menangis apabila sempat menonton film ini. Tapi Poncke tak akan pernah menontonnya karena ia sudah meninggal dunia pada 2002. Ia juga tak akan tahu bahwa di bangku Djakarta Teater itu dada saya sesak mendengar lagu itu karena teringat padanya. ***

http://www.rumahfilm.org/esai/esai_edith.htm

Inspirasi

HJC Princen
Perjuangan Adalah Pilihan Seumur Hidup

JAKARTA-Persoalan memilih memang bukan cuma judul buku yang diterbitkan oleh HJC Princen. Itu merupakan akar perjalanan, sekaligus permasalahan dan prestasi yang mengukir sejarah hidupnya.
Bahkan, pilihan di dalam dirinya lah yang sedikit banyak mempengaruhi kesadaran penegakan HAM di Indonesia. Kesadarannya memilih bergabung dengan rakyat dari bangsa yang seharusnya dijajahnya, merupakan awal dari hampir seluruh kisah hidupnya.
HJC Princen adalah orang yang dikenal konsisten dalam perjuangan HAM. Demikian, komentar senada yang terucap dari para pelayat peraih Yap Thiam Hien 1992 tersebut. Bukan karena mereka juga berasal dari dunia yang sama dimana Princen menghabiskan pikiran dan tenaganya. Itulah kenyataannya.
Bermula dari pembelotan ke TNI pada masa perjuangan kemerdekaan dahulu, Princen muda bertarung dengan rekan-rekan sejawatnya di KL.
Tepatnya, 26 September 1948, serdadu muda yang seharusnya bertugas berperang dengan para inlander dan tentaranya yang berperlengkapan apa adanya itu malah bertindak di luar perkiraan rekan sepasukannya. Poncke (sapaan akrab Princen,Red) malah memilih meninggalkan Jakarta dan bergabung dengan musuhnya.
Tak lama, ia pun bergabung dengan pasukan Siliwangi dan ber-long-march dengan divisi tersebut ke Jawa Barat dari Yogyakarta pada tahun 1949.
Pilihan itu diambilnya dengan kesadaran penuh, kelak ia akan bertempur dengan rekan- rekan senegerinya sendiri dan dicap sebagai ”pengkhianat”. Toh, perang di jiwanya yang mempertentangkan nasionalismenya dengan logika bahwa dimana pun penjajah sama, akhirnya dimenangkan dengan pembelotan.

Karirnya sebagai TNI tak lama. Meski ia mendapatkan Bintang Gerilya yang disematkan Presiden RI saat itu, Soekarno di tahun 1949, namun karir militer bukanlah pilihan hidupnya.
Di tahun 1956, ia keluar dari institusi TNI AD, SUAD. Ia lebih memilih untuk berperang di medan tempur lainnya, yang tak kalah serunya dengan medan tempur sesungguhnya.
Ini dibuktikan dengan perjalanan hidup yang tak lepas dari satu penjara ke penjara lainnya di tanah air pilihannya, Indonesia. Belum lagi, ancaman pembunuhan dan caci-maki yang terus mengancamnya sesuai dengan cap ‘pengkhianat’ yang terus melekat di negeri asalnya.
Perjalanan karirnya memang cukup unik. Bagaimana tidak. Selang beberapa lama lepas dari tentara, ia menjadi anggota DPR, sebuah kedudukan yang mulia. Namun, tak lama kemudian ia malah harus menjalani hidup di tahanan, lantaran presiden yang memberikannya Bintang Gerilya tadi, menuduhnya bersekongkol melawannya dengan mendirikan Liga Demokrasi. Princen pun digelandang 2 tahun ke ‘hotel prodeo’ di tahun 1962. Namun, hal ini tidak membuatnya jera.
Ia lantas mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia, sebuah institusi yang tentunya asing buat Indonesia saat itu. Dan, beberapa waktu sesudahnya, ia mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di tahun 1970. Kelak, lembaga ini menjadi salah satu LSM yang disegani, termasuk oleh pemerintah.

Malari
Di masa Orde Baru, ia pun kembali mengecap kehidupan di penjara karena keterlibatannya dengan gerakan yang dianggap membahayakan pemerintah. Atas meletusnya peristiwa Malari 1972, Princen harus menjalani 4 tahun tahanan hingga 1976. Lelaki kelahiran Den Haag 21 November 1925 ini sepertinya tak jera dengan kehidupan keras penjara yang dimulainya saat menjadi penghuni kamp konsentrasi di 7 kota besar di Eropa oleh penahanan Jerman. Hanya berbeda 2 tahun kemudian, ia pun mengecap kembali kehidupan bui meski hanya beberapa waktu lantaran dituduh menggangu Sidang DPR di tahun 1978.
Alhasil, cap Tapol/Napol bukan cuma sekali diberikan kepadanya. Karena itu, tak heran sejumlah diskusi dan seminar yang mengundang atau mencantumkan dirinya semasa Orba, seringkali gagal karena tidak disetujui pihak aparat, terutama menyangkut masalah Pemilu dan penindasan HAM oleh tentara.


Membela PKI
Uniknya, mungkin karena predikat yang sama, ia malah membela para Tapol/Napol G 30 S PKI yang dahulu adalah musuhnya di kala menjadi bagian TNI. Ia pun dikenal sebagai tokoh yang bisa menjadi jembatan antargolongan, dan bisa berkawan dengan semua kekuatan antipemerintahan. Ini dibuktikannya dengan aktif membela para pelaku peristiwa Tanjung Priok. Princen yang unik, seunik namanya dengan gelar haji, namun tetap mempertahankan nama Johannes, salah satu rasul pengikut Yesus. Princen seolah ingin merangkum semua perbedaan dalam dirinya.
Ia pun tak bisa dilepaskan dari perjalanan demokrasi di Tanah Air menjelang kejatuhan rezim Soeharto. Dengan tekun ia menghadiri persidangan-persidangan mereka yang tersangkut kasus 27 Juli 1996. Meski, saat itu kondisi kesehatannya sudah mulai memburuk akibat serangan stroke dan diabetes yang menimpanya. Penyakit itu pula yang memaksanya untuk berkursi roda.
Namun, hal itu bukanlah halangan untuknya. Dengan kondisi demikian, ia masih saja aktif berdiskusi, bahkan menjalani pemeriksaan di Kejagung di tahun 1996 karena keikutsertaannya dalam Konferensi Asia Pacific di Kuala Lumpur untuk kemerdekaan Timor Timur. Tak berlebihan dengan konsistensi tersebut, suami dari Sri Mulyati ini menerima Yap Thiam Hien di tahun 1992.
Kini, pejuang HAM tersebut memang sudah tiada. Penyakit diabetes yang makin parah dan stroke berkelanjutan hingga 6 kali, sebagaimana diceritakan sang istri, telah mengakhiri perjalanan dan perjuangannya dini hari Jumat (22/2) setelah dua minggu dirawat di RS PGI Cikini. Kepergiannya diantar oleh kalangan aktivis HAM dan politisi yang peduli.
Pilihan hidupnya telah menjadikannya sebagai guru bagi banyak aktivis HAM. Sayang, selama ini Princen malah kurang menikmati hasil perjuangannya karena tak berhenti berjuang. Ia tak mau menikmati hak ‘istimewanya’ untuk seorang pahlawan, yakni dimakamkan di TMP Kalibata.
Luhut M. Pangaribuan yang hadir memberikan sambutan menyatakan, Princen tetap tidak pernah menikmati perjuangannya dalam menegakkan HAM. Barangkali begitulah pilihan hidup pahlawan yang sebenarnya: berjuang terus sampai akhir hayat, tanpa peduli dengan imbalan atau kenikmatan. Selamat jalan! (SH/rikando somba)
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0202/23/sh03.html

Rabu, November 21, 2007

Hamid Dinilai Lupakan Masalah HAM

Penulis: Agustinus

JAKARTA--MIOL: Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin dinilai telah melupakan persoalan HAM selama menduduki jabatannya. Tokoh HAM Asmara Nababan menyampaikan kritik itu saat memberikan refleksi peringatan 41 tahun Lembaga Pembela HAM (LPHAM) di Jakarta, Rabu (2/5).

"Menteri kita itu tidak pernah berbicara dan bersikap dalam berbagai isu HAM," kata Asmara yang juga petinggi LSM Demos itu.

Menurut Asmara pada prinsipnya ada dua portofolio dalam kementerian tersebut, yakni hukum dan HAM. "Dia sepertinya lupa ada portofolio HAM. Kita lebih sering mendengar tentang dia dalam soal yang satunya (hukum)," cetusnya.

Hamid merupakan menteri yang pernah disebut-sebut terlibat dalam sejumlah kasus antara lain kasus korupsi KPU dan kasus pencairan uang US$10 juta via rekening Depkum dan HAM.

Pada bagian lain Asmara mengatakan sampai saat ini ada satu persoalan HAM yang tak pernah bisa diselesaikan dengan segenap instrumen hukum HAM yang telah dibuat. Yakni, tentang impunitas.

Ia menambahkan terbentuknya pengadilan ad hoc HAM Timor Timur dan Tanjung Priok merupakan usaha yang paling dekat untuk memutus rantai impunitas itu.

"Tapi kenyataannya pengadilan justru membebaskan para anggota militer yang seharusnya bertanggung jawab," ujarnya.

Ia juga menilai saat ini Indonesia mengalami defisit demokrasi. Itulah yang membuat impunitas masih berlangsung sampai sekarang.

"Defisit itulah yang menyebabkan rule of law dan law enforcement di Indonesia tidak berjalan baik," katanya. (Aka/OL-06)

http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=132021

Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban

"Kopkamtib, Soeharto dan Kasus Tanjung Priok"
Laporan Riset LPHAM Vol.1, Jakarta, 2004.
Ahmad Hambali,

Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) adalah pemimpin tertinggi Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Pangkopkamtib yang pertama adalah Soeharto . Kopkamtib didirikan pada tanggal 10 Oktober 1965 sebagai sarana pemerintah indonesia yang bertujuan memelihara dan meningkatkan stabilitas keamanan dan ketertiban di dalam rangka mewujudkan stabilitas nasional sebagai syarat mutlak bagi berhasilnya pelaksanaan Repelita pada khususnya pembangunan jangka panjang pada umumnya. Selama 23 tahun dari pemerintahan orde baru, Kopkamtib telah menjadi gugus tugas pemerintah militer untuk melaksanakan kegiatan keamanan dan intelejen. Lewat serangkaian kegiatan tersebut, Kopkamtib dapat menggunakan seluruh aset dan personalia pemerintahan sipil di Indonesia demi kepentingan apa yang disebut pemerintah orde baru sebagai mempertahankan pelaksanaan pembangunan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ditahun 1974 presiden mengambil alih Kopkamtib sebagai organisasi yang berada dibawah pemerintah dengan mengeluarkan Keppres No 9/1974. Bahkan pada tahun 1982, Kopkamtib telah menjadi lembaga militer yang benar-benar tidak bisa dikontrol masyarakat dengan tidak disebutnya lembaga tersebut dalam UU Hankam yang digodok DPR. Berdasarkan hukum, Kopkamtib tercatat memiliki dasar hukum pertama kali lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) berupa perintah presiden Soekarno untuk mengambil langkah yang dianggap perlu untuk menjamin stabilitas kemananan nasional kepada Mayjend Soeharto yang hingga kini Supersemar tersebut juga masih menjadi misteri. Pada tahun 1973, MPR mengeluarkan TAP/MPR No.X/MPR/1973 tentang Peraturan dan Fungsi Kopkamtib dalam Sistem Keamanan Nasional yang memberikan kekuasaan kepada presiden sebagai mandataris MPR untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk suksesnya mengawal pembangunan nasional yang berdasarkan demokrasi Pancasila dan konstitusi UUD 1945 dengan: Menjaga keamanan nasional, Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, Mencegah bangkitnya gerakan G30S/PKI, Dan ancaman subversi lainnya. Sebelum dibubarkan, Kopkamtib sesuai Keppres No.47/1978 mempunyai 4 fungsi utama: 1) Mengkoordinasikan pelaksanaan kebijaksanaan dalam pemeliharaan stabilitas keamanan dan ketertiban nasional. 2) Mencegah kegiatan dan menumpas sisa-sisa G 30 S PKI, subversi dan golongan ekstrim lainnya yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat yang membahayakan keselamatan dan keutuhan negara, bangsa yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 3) Mencegah pengaruh moral dan mental yang di timbulkan oleh peristiwa G 30 S PKI dan aliran kebudayaan lainnya yang bertentangan dengan moral, mental dan kebudayaan berdasarkan Pancasila. 4) Membimbing masyarakat untuk lebih aktif berpartisipasi dan ikut bertanggung jawab dalam memelihara keamanan dan ketertiban. Dalam wacana hukum dan organisasi, Kopkamtib diarahkan menjadi badan keamanan militer secara darurat yang dimulai dengan dideklarasikannya undang-undang subversi tahun 1957. Struktur yang ada dalam undang-undang inilah yang kemudiaan memberi inspirasi untuk melahirkan Keppress No.47/1978 tentang organisasi Kopkamtib yang memiliki Laksusda di tingkat Kodam dan Laksuswil ditingkat Kowilhan hingga September 1988 diganti dengan Bakorstanas. Sebagai koordinator kebijakan keamanan pemerintah, Kopkamtib telah menjadi bagian dari peraturan yang ada dalam negara. Fakta ini ditunjukan dengan adanya penggunaan seluruh instrumen negara dan elemen aparat negara sama halnya dengan membuat seluruh ukuran dengan merujuk pada keputusan hukum yang tercermin dalam undang-undang keamanan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang dasar 1945. Kopkamtib seperti yang pernah diakui mantan Kapolri Hugeng Imam Santoso, memiliki kekuasaan untuk memberi perintah kepada polisi dalam melakukan proses interogasi, penangkapan, penahanan yang tidak diatur dalam peraturan nasional yang ada. Dalam sejarah pendiriannya, Kopkamtib hanya dipimpin oleh 6 orang jenderal dengan dinamika staf dan personalia yang hampir berubah setiap periode pimpinan, mereka adalah: Jenderal Soeharto (5/10/65 – 19/11/69), Jend. M. Panggabean (19/11/69 – 27/3/73), Jend. Soemitro (27/3/73 – 28/1/74), Jenderal Soeharto (28/1/74 – 17/4/78), Laksamana Soedomo (17/4/78 – 29/3/1983) dan Jend. LB Moerdani (29/3/1983 – 5/9/88). Pangkopkamtib dalam pelaksanaan tugas bertanggungjawab kepada presiden. Tapi selain itu dalam pelaksanaan tugas sehari-hari Pangkopkamtib bertanggungjawab pada Menhankam/Pangab. Antara tahun 1974 –1983, Struktur Pangkopkamtib didampingi oleh Kepala Staf (Kaskopkamtib) dan sekretaris pribadinya (Spri Kaskopkamtib) yang garis staff nya berada pada eselon pembantu pimpinan. Secara Hirarkis ada 6 kerangka besar pelaksana kebijakan Kopkamtib, mereka adalah: 1) Presiden sebagai penanggungjawab seluruh pelaksanaan tugas dan dalam keadaan khusus memberi perintah langsung kepada Laksusda lewat Pangkopkamtib atau Menhankam/Pangab. 2) Menhankam/Pangab sebagai pengendali sehari-hari dan mengawasi tugas pelaksanaan kerja Kopkamtib. 3) Pangkopkamtib bertugas Menentukan kebijakan umum, mengendalikan dan mengambil keputusan operasi pemulihan keamanan Kopkamtib. 4) Kaskopkamtib melakukan koordinasi dan supervisi kegiatan operasi pemulihan keamanan. Laksuswil melaksanakan kebijakan ditingkat wilayah yang pelaksanaan tugasnya bertanggungjawab kepada Pangab dan Pangkopkamtib. Laksusda melaksanakan kebijakan ditingkat daerah yang pelaksanaan tugasnya secara umum bertanggungjawab kepada Pangkowilhan dan secara khusus kepada Pangkopkamtib, Pangab dan Presiden. Dalam susunan organisasi Kopkamtib, Presiden bersama dengan Pangkopkamtib, 5 Eselon pelaksana pusat (Dansatgas Intel, Kadispen Humas, Dan sathub, Kateperpu dan Katodsapu Kopkamtib) Laksuswil dan Laksusda dirajut dengan garis Komando. Sedangkan Menhankam bersama Pangkopkamtib, Laksuswil dan Laksusda disatukan dengan garis pengendalian dan pengawasan. Adapun selain itu, tapi termasuk 5 eselon pelaksana di koordinasi oleh Pangkopkamtib langsung. Kopkamtib menurut Keppres No.47/1978 memiliki susunan organisasi yang terdiri dari Eselon Pengendali (menhankam Pangab), Eselon Pimpinan (Pangkopkamtib), Eselon Pembantu Pimpinan yang terdiri dari unsur pembantu utama (Menhankam/Pangab dan Kaskopkamtib), Unsur Staf (staf umum: Assospol, Assintel, Asops, Aster dan Askamtibmas Kopkamtib dan Staf Khusus: Dansatgas Intel, Kadispen Humas, Dan sathub, Kateperpu, Katodsapu, Spri Pangkopkamtib dan Spri Kaskopkamtib) dan unsur Pelayanan (Setkopkamtib dan Paku Kopkamtib) dan eselon pelaksana yang terbagi dalam dua unsur: Pelaksana Pusat (Satgas Intel, Dispen Humas, sathub, Teperpu, Todsapu Kopkamtib) dan Pelaksana Daerah (Laksuswil dan Laksusda).



This page is based on the copyrighted Wikipedia article 'Pangkopkamtib' it is used under the GNU Free Documentation License. You may redistribute it,verbatim or modified, providing that you comply with the terms of the GFDL.

LPHAM Facilitating

"Belum Tentu si Putra Mahkota Dikehendaki Rakyat"


Ternyata tak banyak yang tahu kalau Raden Ajeng Berar Fathia sudah mencalonkan diri sebagai Presiden RI untuk Pemilu 1997. Itu terjadi pada 3 April lalu. Bahkan, dia mendahului Sri Bintang Pamungkas dalam pencalonan itu.

Ini memang kedua kalinya Berar Fathia, 41, mencalonkan diri setelah Pemilu 1992. Ketika itu wanita yang mengaku masih kerabat Mangkunegaran ini menjabat Wakil Ketua Litbang PDI. Di Jakarta, kala itu, Berar mencanangkan perbaikan bidang lingkungan hidup, keluarga berencana, sistem pemilu, dan soal hak asasi manusia sebagai programnya kalau dia terpilih. Kesudahan pencalonan Fathia jelas, tak sebuah fraksi di MPR yang mengajukan namanya. Sampai sekarang dia masih dikenang sebagai calon presiden dari Kalipasir -- mengambil nama lokasi LPHAM tempatnya dulu mencalonkan diri.

http://www.tempointeraktif.com/ang/min/01/33/nas11_1.htm