Kamis, November 22, 2007

Poncke Princen Prize 2007

Rabu, 02 Mei 2007,
Lagi, Inu Kencana Raih Penghargaan

JAKARTA - Keberanian dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Inu Kencana Syafiie membongkar praktik kekerasan di kampusnya mendapat apresiasi. Kemarin kandidat doktor Universitas Padjadjaran Bandung itu meraih penghargaan dari Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM).

Bersama tokoh HAM almarhum Munir dan SCTV, Inu yang kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, 55 tahun lalu, itu meraih Princen Human Rights Prize 2007.

Pada penghargaan itu, Inu masuk kategori Human Rights Promotor and Educator, sedangkan Munir masuk kategori Human Rights Life Time Achievement. "Untuk SCTV kami kategorikan sebagai Human Rights Campaigner atas liputan mereka melaporkan kekerasan dari balik tembok IPDN," kata Direktur Eksekutif LPHAM Ahmad Hambali dalam jumpa pers di kantor Kontras kemarin.

LPHAM didirikan HJC Princen dan Yap Thiam Hien pada 29 April 1966. LPHAM yang tahun ini berumur 41 tahun juga membidani beberapa LSM HAM seperti LBH, YLBHI, Kontras, dan sejumlah lembaga lain. "Baru kali pertama ini kami memberikan penghargaan, karena peran ketiga pihak itu sangat besar dalam penegakan HAM," tambah Dadang Trisasangko yang menjadi salah seorang juri dalam proses itu.

Selain Dadang, yang bertindak sebagai juri adalah Asmara Nababan, Bambang Widjojanto, Melani, Ori Rahman, dan M.M. Billah. Penghargaan untuk mereka bertiga rencananya diserahkan hari ini di kantor Partnership di Gedung Surya, Jl M.H. Thamrin.

Mengapa Inu dan SCTV terpilih? "Problem IPDN adalah hal serius karena menyangkut orang-orang yang kelak mempunyai kekuasaan, sehingga memperbaiki IPDN adalah memperbaiki pemerintahan," kata Dadang Ditemui secara terpisah, istri Munir, Suciwati, menyambut baik penghargaan itu. (naz)
http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=283357

Napak Tilas

Peristiwa Purwodadi
"Benang Merah Mau Menjerat Purwodadi"

OLEH BUDI SETIYONO


1 OKTOBER 1965, dengan menggunakan pasukan yang dikuasainya, ex. Kolonel Sahirman merebut dan menguasai markas Kodam VII/Diponegoro. Dari 7 batalion infantri, 5 batalion memihak Untung. Sahirman menyatakan dirinya sebagai Komandan Gerakan 30 September (G30S) di Jawa Tengah.

Pukul 13.00, Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang ia kuasai, yang kemudian digunakan untuk menyiarkan pengumuman No./PENG/GERAK/30 Sept/1965. Isinya mendukung sepenuhnya tindakan G30S, mengambil tindakan terhadap pendukung Dewan Jenderal, dan meminta segenap anggota angkatan bersenjata serta masyarakat agar tetap tenang dan waspada. Selanjutnya, Letnan Kolonel Inf. Usman Sastrodibroto ditugaskan untuk mengoper pimpinan Kodam.

Namun gerakan Untung di Jakarta gagal. Kesatuan-kesatuan yang mendukungnya di Jawa Tengah tak punya alasan untuk bertahan terus. Mereka menyatakan kesediaannya untuk melaksanakan perintah presiden dan panglima Kodam Brigjen Suryosumpeno. Tapi, karena loyalitas mereka amat diragukan, panglima divisi menempatkan mereka di posisi tempur untuk menghadapi Malasya di Sumatera, dan memulangkan pasukan yang loyal dari Sumatera ke Jawa Tengah.

Pergantian itu tak bisa dilaksanakan segera karena tak tersedianya sarana angkutan. Untuk membantu permulihan keamanan dan ketertiban, pemerintah mengirimkan pasukan RPKAD yang dikomandoi Kolonel Sarwo Edi. Tanggal 19 Oktober, satu batalion lengkap di bawah pimpinan Mayor Santoso tiba di Semarang. Hasilnya, Kolonel Sahirman, Kolonel Maryono, dan Kolonel Sukirno, ditangkap.

Secara perlahan kekuatan PKI mulai dihancurkan. Basis PKI pun bergeser ke Blitar Selatan, tapi juga gagal. Mereka kemudian mengubah gerakan, dan hendak mencoba menjadikan daerah Merapi-Merbabu-Complex (MMC) sebagai basis. Dan juga membentuk jaring-jaring kegiatan di beberapa daerah, termasuk Purwodadi.

Sisa-sisa G30S yang bergerak ke Purwodadi telah mengeluarkan brosur yang diberi nama "Mimbar Rakyat"; dengan kode "Mowo". Menurut harian Suara Merdeka, 10 Maret 1969, brosur terbitan terakhir berisi tulisan yang mengkritik Presiden Soeharto dan Pemerintah Daerah Jawa Tengah yang telah menanggapi Repelita dengan modernisasi desa. Selain itu, mereka juga melancarkan gerilya politik dengan meniupkan desas-desus yang dilepaskan ke luar agar tempat persembunyiannya aman.

Tahun 1969 ini, menurut Dandim 0717 P. Letkol Tedjosuwarno dalam laporannya kepada Menteri Penerangan Budiardjo, akan dijadikan sebagai tahun H bagi gerakan PKI. Dan berdasarkan dokumen dan seruan PKI kepada anggotanya agar selalu dalam perjuangannya mendasarkan diri pada historismenya, yaitu bahwa Purwodadi adalah kota tempat pembentukan pertama pasukan merah (tentara PKI), pemberontakan 1926, Madiun Affair, dan Pemberontakan 30 September 1965.

Purwodadi merupakan persimpangan jalan yang penting untuk menuju Solo, Surabaya, Semarang, dan Kudus. Namun jalan dari Purwodadi menuju daerah lain rusak. Letaknya juga hampir tertutup karena jalur komunikasi boleh dikatakan hancur total. Kondisi itu dimanfaatkan untuk melancarkan gerakan, dan mengadakan pertemuan.

Operasi pun dilancarkan angkatan darat selama 3 hari, 15-17 Pebruari. Dari operasi itu, seperti dimuat di Suara Merdeka, 10 Maret 1969, ditemukan 7 ruang bawah tanah. 5 dalam keadaan kosong, dan 2 diantaranya terdapat 6 orang yang sedang melakukan rapat. Mereka dipaksa keluar dengan cara memberi asap pada mulut ruang. Disita pula senjata berupa sten gun, "senjata jet" atau panah berbentuk seperti karaben yang terbuat dari kayu dengan peluru ruji sepeda yang diruncingkan dan diberi racun mematikan. Gembong PKI Pono dan Bigo Pranoto (tokoh PKI Jawa Tengah) juga ditangkap dalam operasi yang dilancarkan Kodam VII/Diponegoro.

Dalam suasana rawan semacam itu, muncul isu adanya pembunuhan massal dan penyiksaan kejam sekitar 800 orang di Purwodadi yang dilakukan kesatuan-kesatuan Jon 404 dan Jon 409 beserta Kodim setempat. Pelontarnya adalah Ketua II Lembaga Hak Asasi Manusia Princen, yang bersama 2 wartawan Belanda Kolb dari Haagsche Courant dan E. van Caspel, yang mengunjungi pastor Wignjosumarto di Purwodadi. Pastur itu memberi penjelasan yang ia dapat dari orang-orang Katolik yang datang kepadanya untuk menyampaikan dosa-dosa dan meminta pengampunan.

Princen yakin bahwa sekitar 800 orang telah dibunuh dengan pukulan batang-batang besi pada kepala, tapi jumlah itu mungkin masih lebih tinggi. Pembataian massal itu terjadi setelah dua bulan penggulungan orang-orang yang dinyatakan sebagai komunis, yang dimasukkan ke dalam kamp-kamp tahanan di Purwodadi, Gundi dan Kuwu.

Pemberitaan dalam surat kabar Bulgaria Rabotaiche Skodele malah lebih tendensius. Surat kabar ini memuat pernyataan Princen yang mengatakan bahwa 2-3 ribu orang telah dibunuh oleh angkatan darat dan orde baru, ratusan orang dipancung kepalanya, menggali lubang kubur sendiri, pemeriksaan disertai siksaan, dan banyak pula yang dipaksa "bunuh diri".

Pangdam VII/Diponegoro Mayjen Surono menyangkalnya. Menurutnya, sejumlah 860 orang G30S yang ditahan menjelang tutup tahun yang dimulai sejak 1 Oktober 1968 memang ada di kamp-kamp tahanan.

Mayor Suhirno, Kepala Penerangan Kodam VII/Diponegoro selaku juru bicara Peperda Jateng/DIY mengatakan, jumlah tawanan di daerah Kuwu seluruhnya berjumlah 700 orang.Penggerebekan dilakukan di salah satu gereja di Purwodadi, karena terbukti terdapat pelarian G30S dari Yogyakarta. Dalam operasi pembersihan itu terdapat pula beberapa warga negara asing yang tertangkap.

Isu itu tampaknya menarik perhatian. Panglima Angkatan Darat Jenderal Panggabean memerintahkan tim khusus untuk menyelidiki Peristiwa Purwodadi itu. Bahkan masalah itu menjadi pembicaraan dalam Sidang Kabinet Terbatas pada 20 Maret 1969, meski pemerintah secara resmi membantah kebenaran Peristiwa Purwodadi.

Namun isu itu terus bergulir, dan menarik pihak luar. Beberapa surat kabar asing seperti Aljazair, beberapa negara Afrika, Muangthai, Polandia, Phillipina dan Bulgaria memberitakan tanpa bumbu komentar. Harian kiri Afton Bladet di Swedia memuatnya dengan disertai reaksi dalam subeditorialnya. Dikatakan agar ada Komisi Penyelidik Internasional untuk mentackle "politik pemusnahan rakyat" di Indonesia.

Dari sumber resmi, demikian Suara Merdeka, 20 Maret 1969, diberitakan bahwa beberapa perwakilan asing dari negara-negara penting yang berada di Jakarta juga telah melaporkan kepada pemerintahan masing-masing mengenai ketidakbenaran peristiwa itu. Laporan itu didasari penyelidikan yang dilakukan oleh tiap-tiap perwakilan asing itu secara intensif dan diam-diam.

Gubernur Jawa Tengah Moenadi yang berada di Jakarta segera mengeluarkan press release, yang isinya: "Saya hanya ingin membeberkan sadja, sebagian dari sedjarah perdjuangan kita di Djateng. Pada tahun 1948 waktu pasukan PKI menduduki Karesidenan Pati, ada seorang Belanda melarikan diri dari kesatuannya dan menggabungkan diri kepada pasukan PKI di Pati. Orang itu adalah HJC Princen (waktu itu belum hadji). Pada waktu pasukan-pasukan pemerintah RI dibawah pimpinan Letkol. Koesno Oetomo (sekarang Mayjen.), Mayor Kosasih (sekarang Mayjen), menduduki kembali Karesidenan Pati, maka Princen jang tadinja ikut PKI dioper oleh pasukan Siliwangi cq Kemal Idris dan dibawa ke Jabar."

"Pada waktu itu saja sudah tjuriga, apa mungkin seorang serdadu Belanda ikut komunis. Apakah tidak ada kemungkinan bahwa ia adalah dari Partai Komunis Nederland?"

"Bahwa saudara HJC Princen itu sekarang sudah menjadi WNI, bahkan sudah hadji, tidak saj persoalkan. Jang saja persoalkan ialah timbulnja pertanyaan "apakah orang jang dulu (HJC Princen) diragukan dan saja duga dari Partai Komunis Nederland seperti Abdulmadjid SH, Aetiadji, dan lain-lain hingga sekarang belum diclearkan?"

Press release ini mengakibatkan Princen mengadukan Gubernur Moenadi ke Jaksa Agung. Sayangnya tak ada berita apakah aduan Princen ditanggapi Jaksa Agung.*
http://www.mesias.8k.com/peristiwapurwodadi.htm

Renungan

Burung Pipit yang Tak Pernah Menyesal
oleh Eric Sasono
Redaktur Rumahfilm.org

Non, Rien De Rien, Non, Je Ne Regrette Rien
Ni Le Bien Qu'on M'a Fait, Ni Le Mal

Seratus empat puluh menit itu nyaris saya sesali apabila lagu berbahasa Prancis di atas tak datang pada Jumat malam itu. Saya memang menantikannya, tetapi tak pernah menduga datangnya lagu itu begitu kuat.

Saya menonton La Vie En Rose, pada Jumat malam 2 November lalu. Film itu menjadi film penutup pada Europe On Screen, festival film Eropa di Jakarta tahun 2007. Film karya Oliver Dahan ini adalah sebuah biopik penyanyi Perancis, Edit Piaf (1915 – 1963). Waktu saya bekerja di Delta FM --ketika itu masih favourit oldies station-- saya sering mendengarkan lagu itu: Non, Je Ne Regrette Rien.

Ada alasan kenapa lagu tadi membuat terasa begitu kuat. Film La Vie En Rose ini adalah sebuah biopik yang berarakan. Episode demi episode lewat bagai awan tergeret angin membawa muatan emosinya sendiri. Alur yang melompat maju mundur dengan tokoh beritu banyak membuat saya kehilangan peta plot film. Emosi Edith juga nyaris tak terlacak perkembangannya dalam keseluruhan bangunan film. Yang bisa diikuti hanya tema demi tema yang dibangun dalam sekuen demi sekuen film itu.

Film ini menceritakan hidup Edith Piaf yang dramatis. Terlahir dengan nama Edith Giovanna Gassion, ia mengubahnya menjadi Edith Piaf, burung pipit. Ibunya penyanyi jalanan dan ayahnya pemain akrobat sirkus. Edith kecil hidup bersama neneknya di rumah bordil (di situs RFI, rumah neneknya ini dikatakan sebagai sebuah peternakan). Edith tak kekurangan kasih sayang di sana karena ia jadi pembawa keriangan, kompensasi bagi para pekerja seks di situ. Maka ketika ayahnya memaksanya pergi, Edith menangis. Juga Titine yang sempat membawa Edith berdoa kepada Santa Theresa untuk kesembuhan matanya yang hampir buta karena suatu penyakit.

Edith kemudian berkelana di jalan, bernyanyi ditemani sahabatnya, Simone yang ia panggil Momone. Sampai suatu hari Louis Leplee melihatnya. Leplee yang mengelola sebuah cafe Le Gerny dekat Champs De Elysees, membawa Edith ke sana. La Mome Piaf mulai dikenal orang dan diliput media. Sampai Leplee mati akibat pembunuhan dan Edith dicurigai terlibat di dalamnya. Lolosnya Edith dari kecurigaan tak diceritakan dalam film ini, dan kemudian kita diantarkan kepada proses mentoring Edith yang melelahkan. Mentor itu bernama Raymond Asso yang mengajar Edith dengan ketelitian yang menggetarkan.

Dari situ, keterkenalan tinggal selangkah di depan Edith, majulah ia ke bawah sorot lampu itu; hingga ke Amerika. Di sana, ia bertemu cinta sejatinya, Marcel Cerdan, seorang petinju Prancis yang sedang menuju puncak karirnya. Mereka menjalin cinta sekalipun Marcel sudah menikah. Kematian Marcel kemudian membawa Edith pada kehancuran jiwanya. Ia terlibat pemakaian obat-obatan dan ini membuat kondisi tubuhnya jadi sangat buruk.

Malam terakhir bagi Edith itu datang. Perempuan bertubuh kecil itu berumur 48 tahun ketika ia sudah sulit untuk jalan dan tampak jauh lebih tua dari usianya. Ia sudah sulit untuk tampil. Tapi Non, Je Ne Regrette Rien terlalu menggodanya. Ia tampil di Olympia dengan lagu itu, yang sekaligus menutup film ini.

Film karya sutradara Olivier Dahan ini dipenuhi tokoh dan perpisahan Edith yang tak jelas dengan para tokoh itu. Mulai dari ibunya, lalu ayahnya, Titine, Simone alias Momone, suaminya Louis Dupont (tampil selintasan di film ini), anaknya Marcelle (yang muncul lebih selintasan lagi), Raymond Asso, kekasihnya Marcel Cerdan dan seterusnya. Penonton seperti tak diberi kesempatan menyelami karakter-karakter di seputar Edith ini dan mengapa mereka ada.

Ini memang film tentang seorang manusia yang memilih agar hidup berpusar padanya --semata-mata padanya-- dan bagai tak berikatan apa pun dengan sekelilingnya. Hidup boleh keras, boleh lembut, boleh nikmat, boleh pedih, boleh hiruk, boleh hening. Tapi hidup adalah hidup yang terus berjalan berpusar di satu orang: Edith Piaf, dan itu cukup bagi Edith. Tentu saja dimensi bagi peristiwa jadi tipis dan kurangnya informasi sedikit membingungkan, tapi jelas sekali bahwa Dahan sedang membawa kita mengarungi lautan emosi dalam kehidupan Edith Piaf.

Maka ketika ia bernyanyi di ujung film: Non, Rien De Rien, Non, Je Ne Regrette Rien, itulah puncaknya. Inilah hidup yang tak akan disesali oleh Edith Piaf. Maka ketika ia mendengar lagu ini pertamakali dari komposer yang menawarkannya, Edith berteriak: itu lagu saya!!

Dan ending film ini membawa saya pada ingatan di suatu siang pada 1997.

Saya mewawancarai seseorang bernama HJC Princen. Orang ini dikenal di kalangan dekatnya dengan panggilan Poncke Princen. Ia seorang prajurit KNIL Belanda yang desersi dan kemudian beralih membela Republik Indonesia. Ia ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan. Kemudian pasukan Siliwangi membebaskannya dan ia ikut bersama pasukan Siliwangi melakukan long-march dari Yogyakarta ke Bandung yang terkenal itu. Ia ingat di sepanjang jalan mereka menyanyikan lagu Lilly Marlene, lagu yang dpopulerkan diva paling terkenal pra-Perang Dunia II, Marlene Dietrich (Marlene muncul selintas dalam film La Vie En Rose).

Poncke kemudian menjadi seorang yang tak bisa diam. Ia terus memprotes sana sini. Di masa Jepang, ia ditahan oleh Jepang. Di masa Sukarno, ia memprotes Sukarno dan dipenjara. Di masa Soeharto ia juga memprotes Soeharto dan dipenjara. Bahkan ketika masih di Belanda, ia dipenjara oleh pemerintah pendudukan Jerman. Setiap pemerintahan di negeri yang ditinggalinya seperti alergi padanya. Sepanjang hidupnya, ia seperti seorang gerilyawan dan terus berteriak untuk membela apa yang disebut hak asasi manusia.

Sekalipun akibatnya ia sempat ditolak untuk masuk ke Belanda karena masih dianggap sebagai pengkhianat di sana. Ia jelas kecewa, sekalipun hal itu sudah merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihannya. Saya mendengar namanya lewat media, tapi saya cukup menghormati orang ini, sekalipun dari jauh saja.

Waktu saya temui itu, Poncke sudah berkursi roda. Ia bicara dengan tak tergesa. Suaranya pelan dan nyaris berbisik. Tapi sesekali suaranya meninggi seperti marah. Ini terjadi ketika saya bertanya mengenai soal-soal politik. Soeharto sedang di ujung kekuasaannya, dan Poncke termasuk yang sejak lama ikutan menggerogoti kekuasaan Soeharto dengan omongan kerasnya. Tapi secara umum, suasana wawancara terasa hangat dan akrab, penuh dengan cerita, kenangan, dan tawa kecil yang lepas.

Sampai saya bertanya kepadanya:

“Poncke. Seandainya Poncke bisa memilih hidup kembali, Poncke memilih untuk menjadi orang Belanda atau orang Indonesia?”

Pertanyaan itu membuatnya terdiam sejenak, dan memandangi saya dengan senyum. Seakan ia sudah mengantisipasi pertanyaan semacam ini. Lalu ia menjawab dengan pelan, nyaris berbisik.

“Saya ingat sebuah lagu dari Edith Piaf, Non, Je Ne Regrette Rien.

Lalu ia bernyanyi dengan suaranya yang lirih.

Non, Rien De Rien

Non, Je Ne Regrette Rien

“Tidak, saya tidak menyesal...,” kata Princen. “Ini hidup saya. Apa yang sudah saya alami tak akan saya sesali. Inilah hidup saya....”

Saya terdiam mendengar nyanyiannya. Dan itulah akhir wawancara saya.

Sepuluh Tahun jarak kedua peristiwa itu. Dua orang di dua jaman terhubung oleh sebuah lagu. Baik Edith Piaf dan Poncke Princen sama-sama memiliki pusaran hidup mereka, dan saya seperti menjadi saksi yang jauh, yang terhubung samar-samar dengan keduanya. Apakah saya beruntung? Mungkin tidak --apakah arti hidup orang lain bagi saya.

Tapi inspirasi memang berjalan jauh. Poncke Princen jelas terinspirasi oleh Edith Piaf, si burung pipit yang tak pernah menyesali hidupnya. Mungkin Poncke akan menangis apabila sempat menonton film ini. Tapi Poncke tak akan pernah menontonnya karena ia sudah meninggal dunia pada 2002. Ia juga tak akan tahu bahwa di bangku Djakarta Teater itu dada saya sesak mendengar lagu itu karena teringat padanya. ***

http://www.rumahfilm.org/esai/esai_edith.htm

Inspirasi

HJC Princen
Perjuangan Adalah Pilihan Seumur Hidup

JAKARTA-Persoalan memilih memang bukan cuma judul buku yang diterbitkan oleh HJC Princen. Itu merupakan akar perjalanan, sekaligus permasalahan dan prestasi yang mengukir sejarah hidupnya.
Bahkan, pilihan di dalam dirinya lah yang sedikit banyak mempengaruhi kesadaran penegakan HAM di Indonesia. Kesadarannya memilih bergabung dengan rakyat dari bangsa yang seharusnya dijajahnya, merupakan awal dari hampir seluruh kisah hidupnya.
HJC Princen adalah orang yang dikenal konsisten dalam perjuangan HAM. Demikian, komentar senada yang terucap dari para pelayat peraih Yap Thiam Hien 1992 tersebut. Bukan karena mereka juga berasal dari dunia yang sama dimana Princen menghabiskan pikiran dan tenaganya. Itulah kenyataannya.
Bermula dari pembelotan ke TNI pada masa perjuangan kemerdekaan dahulu, Princen muda bertarung dengan rekan-rekan sejawatnya di KL.
Tepatnya, 26 September 1948, serdadu muda yang seharusnya bertugas berperang dengan para inlander dan tentaranya yang berperlengkapan apa adanya itu malah bertindak di luar perkiraan rekan sepasukannya. Poncke (sapaan akrab Princen,Red) malah memilih meninggalkan Jakarta dan bergabung dengan musuhnya.
Tak lama, ia pun bergabung dengan pasukan Siliwangi dan ber-long-march dengan divisi tersebut ke Jawa Barat dari Yogyakarta pada tahun 1949.
Pilihan itu diambilnya dengan kesadaran penuh, kelak ia akan bertempur dengan rekan- rekan senegerinya sendiri dan dicap sebagai ”pengkhianat”. Toh, perang di jiwanya yang mempertentangkan nasionalismenya dengan logika bahwa dimana pun penjajah sama, akhirnya dimenangkan dengan pembelotan.

Karirnya sebagai TNI tak lama. Meski ia mendapatkan Bintang Gerilya yang disematkan Presiden RI saat itu, Soekarno di tahun 1949, namun karir militer bukanlah pilihan hidupnya.
Di tahun 1956, ia keluar dari institusi TNI AD, SUAD. Ia lebih memilih untuk berperang di medan tempur lainnya, yang tak kalah serunya dengan medan tempur sesungguhnya.
Ini dibuktikan dengan perjalanan hidup yang tak lepas dari satu penjara ke penjara lainnya di tanah air pilihannya, Indonesia. Belum lagi, ancaman pembunuhan dan caci-maki yang terus mengancamnya sesuai dengan cap ‘pengkhianat’ yang terus melekat di negeri asalnya.
Perjalanan karirnya memang cukup unik. Bagaimana tidak. Selang beberapa lama lepas dari tentara, ia menjadi anggota DPR, sebuah kedudukan yang mulia. Namun, tak lama kemudian ia malah harus menjalani hidup di tahanan, lantaran presiden yang memberikannya Bintang Gerilya tadi, menuduhnya bersekongkol melawannya dengan mendirikan Liga Demokrasi. Princen pun digelandang 2 tahun ke ‘hotel prodeo’ di tahun 1962. Namun, hal ini tidak membuatnya jera.
Ia lantas mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia, sebuah institusi yang tentunya asing buat Indonesia saat itu. Dan, beberapa waktu sesudahnya, ia mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di tahun 1970. Kelak, lembaga ini menjadi salah satu LSM yang disegani, termasuk oleh pemerintah.

Malari
Di masa Orde Baru, ia pun kembali mengecap kehidupan di penjara karena keterlibatannya dengan gerakan yang dianggap membahayakan pemerintah. Atas meletusnya peristiwa Malari 1972, Princen harus menjalani 4 tahun tahanan hingga 1976. Lelaki kelahiran Den Haag 21 November 1925 ini sepertinya tak jera dengan kehidupan keras penjara yang dimulainya saat menjadi penghuni kamp konsentrasi di 7 kota besar di Eropa oleh penahanan Jerman. Hanya berbeda 2 tahun kemudian, ia pun mengecap kembali kehidupan bui meski hanya beberapa waktu lantaran dituduh menggangu Sidang DPR di tahun 1978.
Alhasil, cap Tapol/Napol bukan cuma sekali diberikan kepadanya. Karena itu, tak heran sejumlah diskusi dan seminar yang mengundang atau mencantumkan dirinya semasa Orba, seringkali gagal karena tidak disetujui pihak aparat, terutama menyangkut masalah Pemilu dan penindasan HAM oleh tentara.


Membela PKI
Uniknya, mungkin karena predikat yang sama, ia malah membela para Tapol/Napol G 30 S PKI yang dahulu adalah musuhnya di kala menjadi bagian TNI. Ia pun dikenal sebagai tokoh yang bisa menjadi jembatan antargolongan, dan bisa berkawan dengan semua kekuatan antipemerintahan. Ini dibuktikannya dengan aktif membela para pelaku peristiwa Tanjung Priok. Princen yang unik, seunik namanya dengan gelar haji, namun tetap mempertahankan nama Johannes, salah satu rasul pengikut Yesus. Princen seolah ingin merangkum semua perbedaan dalam dirinya.
Ia pun tak bisa dilepaskan dari perjalanan demokrasi di Tanah Air menjelang kejatuhan rezim Soeharto. Dengan tekun ia menghadiri persidangan-persidangan mereka yang tersangkut kasus 27 Juli 1996. Meski, saat itu kondisi kesehatannya sudah mulai memburuk akibat serangan stroke dan diabetes yang menimpanya. Penyakit itu pula yang memaksanya untuk berkursi roda.
Namun, hal itu bukanlah halangan untuknya. Dengan kondisi demikian, ia masih saja aktif berdiskusi, bahkan menjalani pemeriksaan di Kejagung di tahun 1996 karena keikutsertaannya dalam Konferensi Asia Pacific di Kuala Lumpur untuk kemerdekaan Timor Timur. Tak berlebihan dengan konsistensi tersebut, suami dari Sri Mulyati ini menerima Yap Thiam Hien di tahun 1992.
Kini, pejuang HAM tersebut memang sudah tiada. Penyakit diabetes yang makin parah dan stroke berkelanjutan hingga 6 kali, sebagaimana diceritakan sang istri, telah mengakhiri perjalanan dan perjuangannya dini hari Jumat (22/2) setelah dua minggu dirawat di RS PGI Cikini. Kepergiannya diantar oleh kalangan aktivis HAM dan politisi yang peduli.
Pilihan hidupnya telah menjadikannya sebagai guru bagi banyak aktivis HAM. Sayang, selama ini Princen malah kurang menikmati hasil perjuangannya karena tak berhenti berjuang. Ia tak mau menikmati hak ‘istimewanya’ untuk seorang pahlawan, yakni dimakamkan di TMP Kalibata.
Luhut M. Pangaribuan yang hadir memberikan sambutan menyatakan, Princen tetap tidak pernah menikmati perjuangannya dalam menegakkan HAM. Barangkali begitulah pilihan hidup pahlawan yang sebenarnya: berjuang terus sampai akhir hayat, tanpa peduli dengan imbalan atau kenikmatan. Selamat jalan! (SH/rikando somba)
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0202/23/sh03.html

Rabu, November 21, 2007

Hamid Dinilai Lupakan Masalah HAM

Penulis: Agustinus

JAKARTA--MIOL: Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin dinilai telah melupakan persoalan HAM selama menduduki jabatannya. Tokoh HAM Asmara Nababan menyampaikan kritik itu saat memberikan refleksi peringatan 41 tahun Lembaga Pembela HAM (LPHAM) di Jakarta, Rabu (2/5).

"Menteri kita itu tidak pernah berbicara dan bersikap dalam berbagai isu HAM," kata Asmara yang juga petinggi LSM Demos itu.

Menurut Asmara pada prinsipnya ada dua portofolio dalam kementerian tersebut, yakni hukum dan HAM. "Dia sepertinya lupa ada portofolio HAM. Kita lebih sering mendengar tentang dia dalam soal yang satunya (hukum)," cetusnya.

Hamid merupakan menteri yang pernah disebut-sebut terlibat dalam sejumlah kasus antara lain kasus korupsi KPU dan kasus pencairan uang US$10 juta via rekening Depkum dan HAM.

Pada bagian lain Asmara mengatakan sampai saat ini ada satu persoalan HAM yang tak pernah bisa diselesaikan dengan segenap instrumen hukum HAM yang telah dibuat. Yakni, tentang impunitas.

Ia menambahkan terbentuknya pengadilan ad hoc HAM Timor Timur dan Tanjung Priok merupakan usaha yang paling dekat untuk memutus rantai impunitas itu.

"Tapi kenyataannya pengadilan justru membebaskan para anggota militer yang seharusnya bertanggung jawab," ujarnya.

Ia juga menilai saat ini Indonesia mengalami defisit demokrasi. Itulah yang membuat impunitas masih berlangsung sampai sekarang.

"Defisit itulah yang menyebabkan rule of law dan law enforcement di Indonesia tidak berjalan baik," katanya. (Aka/OL-06)

http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=132021

Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban

"Kopkamtib, Soeharto dan Kasus Tanjung Priok"
Laporan Riset LPHAM Vol.1, Jakarta, 2004.
Ahmad Hambali,

Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) adalah pemimpin tertinggi Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Pangkopkamtib yang pertama adalah Soeharto . Kopkamtib didirikan pada tanggal 10 Oktober 1965 sebagai sarana pemerintah indonesia yang bertujuan memelihara dan meningkatkan stabilitas keamanan dan ketertiban di dalam rangka mewujudkan stabilitas nasional sebagai syarat mutlak bagi berhasilnya pelaksanaan Repelita pada khususnya pembangunan jangka panjang pada umumnya. Selama 23 tahun dari pemerintahan orde baru, Kopkamtib telah menjadi gugus tugas pemerintah militer untuk melaksanakan kegiatan keamanan dan intelejen. Lewat serangkaian kegiatan tersebut, Kopkamtib dapat menggunakan seluruh aset dan personalia pemerintahan sipil di Indonesia demi kepentingan apa yang disebut pemerintah orde baru sebagai mempertahankan pelaksanaan pembangunan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ditahun 1974 presiden mengambil alih Kopkamtib sebagai organisasi yang berada dibawah pemerintah dengan mengeluarkan Keppres No 9/1974. Bahkan pada tahun 1982, Kopkamtib telah menjadi lembaga militer yang benar-benar tidak bisa dikontrol masyarakat dengan tidak disebutnya lembaga tersebut dalam UU Hankam yang digodok DPR. Berdasarkan hukum, Kopkamtib tercatat memiliki dasar hukum pertama kali lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) berupa perintah presiden Soekarno untuk mengambil langkah yang dianggap perlu untuk menjamin stabilitas kemananan nasional kepada Mayjend Soeharto yang hingga kini Supersemar tersebut juga masih menjadi misteri. Pada tahun 1973, MPR mengeluarkan TAP/MPR No.X/MPR/1973 tentang Peraturan dan Fungsi Kopkamtib dalam Sistem Keamanan Nasional yang memberikan kekuasaan kepada presiden sebagai mandataris MPR untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk suksesnya mengawal pembangunan nasional yang berdasarkan demokrasi Pancasila dan konstitusi UUD 1945 dengan: Menjaga keamanan nasional, Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, Mencegah bangkitnya gerakan G30S/PKI, Dan ancaman subversi lainnya. Sebelum dibubarkan, Kopkamtib sesuai Keppres No.47/1978 mempunyai 4 fungsi utama: 1) Mengkoordinasikan pelaksanaan kebijaksanaan dalam pemeliharaan stabilitas keamanan dan ketertiban nasional. 2) Mencegah kegiatan dan menumpas sisa-sisa G 30 S PKI, subversi dan golongan ekstrim lainnya yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat yang membahayakan keselamatan dan keutuhan negara, bangsa yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 3) Mencegah pengaruh moral dan mental yang di timbulkan oleh peristiwa G 30 S PKI dan aliran kebudayaan lainnya yang bertentangan dengan moral, mental dan kebudayaan berdasarkan Pancasila. 4) Membimbing masyarakat untuk lebih aktif berpartisipasi dan ikut bertanggung jawab dalam memelihara keamanan dan ketertiban. Dalam wacana hukum dan organisasi, Kopkamtib diarahkan menjadi badan keamanan militer secara darurat yang dimulai dengan dideklarasikannya undang-undang subversi tahun 1957. Struktur yang ada dalam undang-undang inilah yang kemudiaan memberi inspirasi untuk melahirkan Keppress No.47/1978 tentang organisasi Kopkamtib yang memiliki Laksusda di tingkat Kodam dan Laksuswil ditingkat Kowilhan hingga September 1988 diganti dengan Bakorstanas. Sebagai koordinator kebijakan keamanan pemerintah, Kopkamtib telah menjadi bagian dari peraturan yang ada dalam negara. Fakta ini ditunjukan dengan adanya penggunaan seluruh instrumen negara dan elemen aparat negara sama halnya dengan membuat seluruh ukuran dengan merujuk pada keputusan hukum yang tercermin dalam undang-undang keamanan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang dasar 1945. Kopkamtib seperti yang pernah diakui mantan Kapolri Hugeng Imam Santoso, memiliki kekuasaan untuk memberi perintah kepada polisi dalam melakukan proses interogasi, penangkapan, penahanan yang tidak diatur dalam peraturan nasional yang ada. Dalam sejarah pendiriannya, Kopkamtib hanya dipimpin oleh 6 orang jenderal dengan dinamika staf dan personalia yang hampir berubah setiap periode pimpinan, mereka adalah: Jenderal Soeharto (5/10/65 – 19/11/69), Jend. M. Panggabean (19/11/69 – 27/3/73), Jend. Soemitro (27/3/73 – 28/1/74), Jenderal Soeharto (28/1/74 – 17/4/78), Laksamana Soedomo (17/4/78 – 29/3/1983) dan Jend. LB Moerdani (29/3/1983 – 5/9/88). Pangkopkamtib dalam pelaksanaan tugas bertanggungjawab kepada presiden. Tapi selain itu dalam pelaksanaan tugas sehari-hari Pangkopkamtib bertanggungjawab pada Menhankam/Pangab. Antara tahun 1974 –1983, Struktur Pangkopkamtib didampingi oleh Kepala Staf (Kaskopkamtib) dan sekretaris pribadinya (Spri Kaskopkamtib) yang garis staff nya berada pada eselon pembantu pimpinan. Secara Hirarkis ada 6 kerangka besar pelaksana kebijakan Kopkamtib, mereka adalah: 1) Presiden sebagai penanggungjawab seluruh pelaksanaan tugas dan dalam keadaan khusus memberi perintah langsung kepada Laksusda lewat Pangkopkamtib atau Menhankam/Pangab. 2) Menhankam/Pangab sebagai pengendali sehari-hari dan mengawasi tugas pelaksanaan kerja Kopkamtib. 3) Pangkopkamtib bertugas Menentukan kebijakan umum, mengendalikan dan mengambil keputusan operasi pemulihan keamanan Kopkamtib. 4) Kaskopkamtib melakukan koordinasi dan supervisi kegiatan operasi pemulihan keamanan. Laksuswil melaksanakan kebijakan ditingkat wilayah yang pelaksanaan tugasnya bertanggungjawab kepada Pangab dan Pangkopkamtib. Laksusda melaksanakan kebijakan ditingkat daerah yang pelaksanaan tugasnya secara umum bertanggungjawab kepada Pangkowilhan dan secara khusus kepada Pangkopkamtib, Pangab dan Presiden. Dalam susunan organisasi Kopkamtib, Presiden bersama dengan Pangkopkamtib, 5 Eselon pelaksana pusat (Dansatgas Intel, Kadispen Humas, Dan sathub, Kateperpu dan Katodsapu Kopkamtib) Laksuswil dan Laksusda dirajut dengan garis Komando. Sedangkan Menhankam bersama Pangkopkamtib, Laksuswil dan Laksusda disatukan dengan garis pengendalian dan pengawasan. Adapun selain itu, tapi termasuk 5 eselon pelaksana di koordinasi oleh Pangkopkamtib langsung. Kopkamtib menurut Keppres No.47/1978 memiliki susunan organisasi yang terdiri dari Eselon Pengendali (menhankam Pangab), Eselon Pimpinan (Pangkopkamtib), Eselon Pembantu Pimpinan yang terdiri dari unsur pembantu utama (Menhankam/Pangab dan Kaskopkamtib), Unsur Staf (staf umum: Assospol, Assintel, Asops, Aster dan Askamtibmas Kopkamtib dan Staf Khusus: Dansatgas Intel, Kadispen Humas, Dan sathub, Kateperpu, Katodsapu, Spri Pangkopkamtib dan Spri Kaskopkamtib) dan unsur Pelayanan (Setkopkamtib dan Paku Kopkamtib) dan eselon pelaksana yang terbagi dalam dua unsur: Pelaksana Pusat (Satgas Intel, Dispen Humas, sathub, Teperpu, Todsapu Kopkamtib) dan Pelaksana Daerah (Laksuswil dan Laksusda).



This page is based on the copyrighted Wikipedia article 'Pangkopkamtib' it is used under the GNU Free Documentation License. You may redistribute it,verbatim or modified, providing that you comply with the terms of the GFDL.

LPHAM Facilitating

"Belum Tentu si Putra Mahkota Dikehendaki Rakyat"


Ternyata tak banyak yang tahu kalau Raden Ajeng Berar Fathia sudah mencalonkan diri sebagai Presiden RI untuk Pemilu 1997. Itu terjadi pada 3 April lalu. Bahkan, dia mendahului Sri Bintang Pamungkas dalam pencalonan itu.

Ini memang kedua kalinya Berar Fathia, 41, mencalonkan diri setelah Pemilu 1992. Ketika itu wanita yang mengaku masih kerabat Mangkunegaran ini menjabat Wakil Ketua Litbang PDI. Di Jakarta, kala itu, Berar mencanangkan perbaikan bidang lingkungan hidup, keluarga berencana, sistem pemilu, dan soal hak asasi manusia sebagai programnya kalau dia terpilih. Kesudahan pencalonan Fathia jelas, tak sebuah fraksi di MPR yang mengajukan namanya. Sampai sekarang dia masih dikenang sebagai calon presiden dari Kalipasir -- mengambil nama lokasi LPHAM tempatnya dulu mencalonkan diri.

http://www.tempointeraktif.com/ang/min/01/33/nas11_1.htm

Acheh

Mass Murder in Aceh; A Call for Action
from TAPOL, Dec 17, 1990



After trying for more than a year to put down widespread rebellion and protest in Aceh, on the north-western tip of Sumatra, the Indonesian armed forces, acting on the orders of regional military commander Major-General Djoko Pramono, have embarked on a campaign of systematic murder. Regular territorial troops have been withdrawn from the villages and replaced by four commando units. The number of troops in the area has been doubled, to 12,000.

According to AFP [The Straits Times, 16 August 1990], an airborne battalion of 600 men was parachuted into the districts of North Aceh, East Aceh and Pidie. This battalion, based in Bogor, West Java, is part of the notorious red-beret unit known as Kopassus. It is commanded by Colonel Prabowo, son-in-law of President Suharto, who saw service last year in East Timor and gained a reputation for extreme brutality. Earlier in August, 300 marines and about 100 men from the mobile brigade based in East Java were sent to Sigli, the capital of Pidie.

The military commander has called on the local population to take part in a mass murder campaign. In an interview with Tempo [17 November, 1990], Pramono said:

"I have told the people here: if you meet GPK members, you should kill them. No need to investigate.... Just shoot them or knife them. I have told people to arm themselves with sharp weapons, machetes or whatever. If you encounter the GPK, just kill them." ['GPK' or 'security disruptors' is the term used officially for the Gerakan Aceh Merdeka or GAM, known in English as the Aceh-Sumatra National Liberation Front.]

In the same interview, Pramono said many people had already been killed and that killings are occurring almost every day.

On 8 November 1990, Reuter quoted an Indonesian human rights lawyer, recently returned from Aceh, as saying that residents reported finding mass graves and a steady flow of decomposed corpses. The bodies of people not known locally have been found in plantations and by rivers; villagers working on a river bank found eight bodies tied together, weighted down and drowned. A mass grave was discovered in Akue Mira. Villagers troubled by a foul smell found an open pit with 200 bodies in it, according to a western human rights observer.

On 23 November, a Reuter correspondent who visited the area wrote:

"A trickle of deaths over the past year became a torrent in late September, three months before a deadline set by Pramono to end the conflict... Acehnese are being rounded up in their hundreds and taken to detention centres, often on the smallest suspicion, residents said. 'They are taken out of their houses at night. You often have a fifty-fifty chance of ever coming back,' said a non- government party politician."

A TAPOL contact in Jakarta was told by a senior intelligence officer that the security forces in Aceh face two options, either to arrest many thousands of people and deal with them in the courts of law which could take years, or engage in a shoot-to-kill campaign to exterminate the 'GPK' and strike fear into the entire population. Pramono has clearly chosen the second option.

Our source reports that many villagers suspected of sympathising with GAM have been rounded up, taken to nearby military centres and forced to pledge loyalty to the government; on their way home, some villagers have been set upon, killed, their bodies grotesquely mutilated and left on the roadside. There is strong evidence that bodies are deliberately left without burial for greater psychological impact. Many have been found with hands and feet tied together and a bullet wound in the head. In some cases, bodies have been buried with a foot or arm exposed. No-one has reported any attempts to identify the bodies or carry out autopsies to determine the cause of death.


Death toll

It is not possible to quantify the number already slain this year.

The Reuter report [23 November] said that "hundreds of unidentified corpses have been found and hundreds of people have disappeared."

According to The Economist [15 December 1990],

"Some soldiers admit to killing unarmed people and leaving their corpses in public places as a 'counter-terrorist' measure.... a senior army doctor puts the toll at more than a thousand. Mutilated corpses litter the roadsides and ditches. Most of the victims are local civilians, though several members of the security forces and some of the rebels have also been killed."

The Aceh National Liberation Front believes that more than five thousand people have been put to death since the beginning of the year. In a press release issued on 10 December, it listed many large detention centres each of which are being used by the army to hold up to a thousand people at any one time; according to the Front, as many as a hundred people may be taken out from each of the camps and killed in a night. These centres are located in Lammeulo, Sigli, Keudah (Bandar Aceh), Lhok Seumawe, Rantjong, Tjot Girek, Reudeuep Lhok Sukon, Tualang Tjut, Peureulak, Langsa, Bindjai, Medan and Takengon.

The Front earlier compiled a dossier of reports naming hundreds of people who had been arrested or who had disappeared. The reports, most of which were written in June, July or August this year, before the campaign of mass slaughter began, also give details of torture methods which include:

- mutilating various parts of the body,
- using cigarettes or hot irons to inflict burns,
- electric shock,
- raping women and mutilating their breasts,
- squeezing a man's testicles with pliers,
- nailing down the hands as if for crucifixion,
- immersing the victim in boiling water,
- hanging the victim upside down,
- placing the victim in filthy water for hours or days,
- placing the feet under the legs of a chair on which a soldier sits until the bones are broken.


Need for action

The campaign of extermination now under way in Aceh is the latest in a string of crimes against humanity perpetrated by the Suharto regime. In 1965-66, it was responsible for the massacre of an estimated one million communist suspects or sypathisers. Its war in East Timor, launched in 1975, has left an estimated 200,000 people dead, out of a population of about 700,000. In 1983-84, army death squads killed at least 4,000 people, a campaign which Suharto described in his autobiography as 'shock therapy' against alleged criminals. Army troops shot at least a hundred Muslims in Tanjung Priok in September 1984 who were protesting against the arrest of mosque officials. Dozens, perhaps more than a hundred, villagers were killed in Way Jepara, Lampung, South Sumatra, in February 1989.

TAPOL most vigorously condemns this latest murder campaign against the people of Aceh.

It calls on governments and people everywhere to exert pressure on the Suharto government to put a stop to the slaughter.

It calls on human rights organisations in Indonesia (LPHAM and Infight) and abroad (Amnesty International and the International Commission of Jurists) to send observers to Aceh, and urges the Indonesian Legal Aid Institute (LBH) and Asia Watch to make public without delay the findings of on-the-spot investigations already carried out by them. This information should be submitted to the February 1991 session of the UN Human Rights Commission in Geneva.

Western governments should send officials to Aceh to assess the scale of the massacre.

The European Parliament should adopt an emergency resolution calling for an end to the slaughter.

Those responsible for the killings must be brought to justice. Since this cannot be done in Indonesia, an International Tribunal on Crimes against Humanity should be convened to hold the Suharto regime responsible for its campaign of death and mass intimidation in Aceh.

TAPOL calls on solidarity organisations throughout the world to exert pressure on their own governments along these lines and make their own approaches to the NGOs mentioned above.

London 17 December, 1990

[For background information, see TAPOL Bulletin, 94, 96, 100 and 102.]
http://acehnet.tripod.com/murder.htm

Inu Kencana, Munir, dan SCTV Dapat HAM Award



JAKARTA– HJC Poncke Princen Human Rights Prize 2007 yang diberikan untuk pihak-pihak yang memajukan HAM di Indonesia, tahun ini diberikan kepada dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Inu Kencana Syafei, aktivis HAM Munir dan stasiun televisi SCTV. Inu mendapatkan kategori Human Rights Promotor and Educator. Sedang, Human Rights Life Time Achievement diberikan untuk Munir, dan Human Rights Campaigner untuk SCTV.
“Ketiganya dianggap memberikan kontribusi yang signifikan bagi penghormatan terhadap nilai kemanusiaan dan reformasi politik,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM) Ahmad Hambali di kantor Kontras, Selasa (1/5/2007). (rik)

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/02/nas12.html

Pengadilan Periksa Praperadilan SKP3 Kasus Soeharto

[JAKARTA] Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (5/6), mulai memeriksa permohonan praperadilan atas keluarnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) yang diterbitkan Kejaksaan Agung untuk perkara korupsi mantan Presiden Soeharto.

Persidangan tersebut dipimpin Ketua PN Jaksel Andi Samsan Nganro yang menjadi hakim tunggal. Sedangkan pemohon praperadilan terdiri dari tiga kelompok, yakni pemohon pertama Asosiasi Penasihat Hukum Indonesia (APHI), pemohon kedua Koalisi Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (Gemas), dan pemohon ketiga adalah APHI yang mewakili masyarakat. Sebagai termohon adalah Kejaksaan Agung.

Sementara itu suasana persidangan permohonan pra peradilan SKP3 Soeharto terlihat berbeda dengan sidang-sidang lainnya. Sejak pukul 08.00 WIB Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) sudah dijaga ketat aparat kepolisian dan sejumlah petugas keamanan peng- adilan.

Beberapa petugas memeriksa dengan ketat semua pengunjung yang masuk ke gedung. Areal parkir mobil yang berada di depan gedung terlihat lengang, sebab petugas mengalihkan seluruh kendaraan untuk parkir di luar gedung. Bahkan sejumlah hakim juga dilarang memasukkan kendaraannya ke areal parkir.

Para pengunjung yang hari-hari biasa leluasa masuk ke pengadilan, kini harus mengisi buku tamu. Mereka juga harus mengenakan tanda pengenal yang disediakan petugas.

Tiga Kelompok

Tiga kelompok pemohon, yakni Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (Gemas), Asosiasi Penasihat Hukum Indonesia (APHI) yang mewakili masyarakat, dan APHI yang mewakili organisasinya sendiri.

Gemas terdiri dari PBHI, Imparsial, ELSAM, Demos, SHNI, Kontras, ICW, LPHAM, dan YLBHI.

Koalisi ini mewakilkan permohonan praperadilannya kepada 28 pengacara yang dipimpin Johnson Panjaitan.

Johnson mengatakan, "SKP3 telah merugikan kepentingan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia. SKP3 itu juga berdampak negatif pada pemberantasan korupsi dan berujung pada gagalnya pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara."

Dia berpendapat, perbuatan termohon mengeluarkan SKP3 adalah cacat hukum karena bertentangan dengan Pasal 140 Ayat 2 huruf a UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. "Justru SKP3 itu bertentangan dengan KUHAP. Sebab Pasal 140 Ayat 2 huruf a KUHAP menentukan bahwa penuntut umum dapat menghentikan penuntutan perkara dengan sejumlah alasan, yakni perkara itu tidak mempunyai pembuktian yang cukup, bukan merupakan tindak pidana, dan perkara sudah ditutup demi hukum," paparnya.

Alasan-alasan tersebut, lanjutnya, tidak dipenuhi untuk mengeluarkan SKP3. Sebab, jaksa sudah memiliki bukti yang cukup untuk membuktikan Soeharto melakukan tindak pidana korupsi.

Hal ini terlihat karena Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sudah menetapkan status Soeharto sebagai terdakwa, dan telah membuat surat dakwaan terhadap Soeharto atas dugaan korupsi tujuh yayasan. Artinya, untuk alasan kedua bahwa memang perkara tersebut adalah perkara pidana.

Sedangkan Hotma Timbul yang menjadi koordinator dari APHI mengatakan, tindakan Kejaksaan Agung menerbitkan SKP3 sangat merugikan kepentingan kepastian hukum di Indonesia. [Y-4]

http://www.suarapembaruan.com/News/2006/06/05/

Inu Kencana Dapat Penghargaan HAM


Rabu, 2 Mei 2007
JAKARTA (Suara Karya): Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Inu Kencana Syafei, aktivis HAM Munir, dan stasiun televisi untuk acara Liputan 6 SCTV mendapat penghargaan Poncke Princen Human Rights Prize 2007. Ketiga penerima penghargaan itu dinilai peduli terhadap HAM.
Direktur Eksekutif Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM) Ahmad Hambali, di kantor Kontras, Jakarta, Selasa (1/5), mengatakan, ketiganya dianggap telah memberikan konstribusi dan memajukan HAM di Indonesia. "Ketiganya telah menunjukkan komitmen dan keberanian serta konsisten memberikan andil terhadap perubahan sistem hukum yang peduli pada HAM dan demokrasi," kata Hambali.
Hambali menyebutkan, penghargaan yang diberikan kepada ketiganya dibagi dalam tiga kategori, Human Rights Promotor and Educator untuk Inu Kencana, Human Rights Life Time Achievement untuk Munir, dan Human Rights Campaigner untuk Liputan 6 SCTV.
Komitmen

Inu Kencana berani mengungkap berbagai kasus kekerasan dan penyelewengan di lingkungan kampus tempat ia mengabdi puluhan tahun. Sejak tahun 2004, Inu menerima berbagai macam teror, mulai dari ancaman dipecat sampai dibunuh, setelah ia mengungkapkan penganiayaan terhadap Wahyu Hidayat. Oleh karena itu, Inu Kencana dinilai pantas dikenal sebagai pionir pendidik dan promotor hak asasi meskipun kepedulian terhadap HAM dan demokrasi baru terfokus pada STPDN/IPDN.
Penghargaan untuk Munir, lanjut Hambali, adalah untuk melengkapi berbagai pengakuan yang telah diberikan kepada pejuang HAM itu. LPHAM, yang mencoba memperkuat dedikasinya dengan memberikan penghargaan melalui kekhususan kepeloporan dalam bidang HAM, menilai Munir pantas untuk dikenal sebagai pionir HAM.
Sementara Liputan 6 SCTV, penghargaan diberikan atas pertimbangan konsisten dan komitmennya dalam memberikan andil terhadap perubahan sistem hukum dan politik Indonesia dengan mengungkap kasus kekerasan di STPDN/IPDN.
SCTV menayangkan adegan "ritual" penyematan lencana drumband kepada praja STPDN pada Juni 2003, tiga bulan sebelum Wahyu Hidayat tewas, yang diberi judul "Siksa di Balik Tembok STPDN" pada 21 September 2003.
Sejarah berulang, pada 2 April 2007 praja Cliff Muntu meninggal, dan SCTV menjadi media pertama yang melakukan telewicara dengan Rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi dalam Liputan 6 Siang pada 3 April 2007. (Ant/Dwi Putro AA)
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=172111

Bersama Munir dan SCTV, Inu Raih Penghargaan


JAKARTA, BPOST - Perjuangan dosen Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Inu Kencana Syafei sederajat dengan pengorbanan aktivis hak asasi manusia, almarhum Munir.

Pada hari jadinya yang ke-41, Selasa (1/5), Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM) menganugerahi keduanya Poncke Princen Human Rights Price 2007. Penghargaan tersebut juga diberikan kepada stasiun televisi SCTV. SCTV meraih penghargaan untuk kategori human rights campaigner.

Sedang Munir human rights life time achievement. Adapun Inu human rights promotor and educator.

Inu dianggap pahlawan HAM karena berani mengungkap kekerasan serta penyelewengan di kampus tempatnya mengabdi puluhan tahun. "Apa yang dilakukan Inu bukan tanpa risiko. Sejak 2004, saat mengungkap kasus kematian Wahyu Hidayat, berbagai teror, mulai ancaman dipecat, sampai dibunuh terus dialami Inu bahkan keluarganya.

Termasuk, dalam mengungkapkan kasus kematian Cliff Muntu. Dia berhak atas dedikasinya dalam memperjuangkan HAM," ujar Direktur Eksekutif LPHAM Ahmad Hambali saat menggelar jumpa pers di kantor KontraS.

Sedang almarhum Munir tidak diragukan lagi. Dia bahkan tewas diracun karena memperjuangkan HAM. SCTV, almarhum Munir dan Inu memiliki andil terhadap perubahan sistem hukum negeri ini sehingga lebih peduli HAM.

Ahmad menerangkan penghargaan yang diberikan pertama kalinya itu berkaitan dengan berdirinya LPHAM pada 29 April 1966. Pendirian LPHAM dipelopori HJC Princen dan Yap Thiam Hien. JBP/yat/dtc

http://www.indomedia.com/BPost/052007/2/depan/utama11.htm

Bongkar IPDN, Inu Kencana Raih Award

Rabu, 02 Mei 2007

JAKARTA (BP) - Keberanian dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Inu Kencana Syafiie membongkar praktik kekerasan di kampusnya mendapat apresiasi. Kemarin kandidat doktor Universitas Padjadjaran Bandung itu meraih penghargaan dari Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM). Bersama tokoh HAM almarhum Munir dan SCTV, Inu yang kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, 55 tahun lalu, itu meraih Princen Human Rights Prize 2007. Pada penghargaan itu, Inu masuk kategori Human Rights Promotor and Educator, sedangkan Munir masuk kategori Human Rights Life Time Achievement. ‘’Untuk SCTV kami kategorikan sebagai Human Rights Campaigner atas liputan mereka melaporkan kekerasan dari balik tembok IPDN,” kata Direktur Eksekutif LPHAM Ahmad Hambali dalam jumpa pers di kantor Kontras, kemarin. LPHAM didirikan HJC Princen dan Yap Thiam Hien pada 29 April 1966. LPHAM yang tahun ini berumur 41 tahun juga membidani beberapa LSM HAM seperti LBH, YLBHI, Kontras, dan sejumlah lembaga lain. ‘’Baru kali pertama ini kami memberikan penghargaan, karena peran ketiga pihak itu sangat besar dalam penegakan HAM,” tambah Dadang Trisasangko yang menjadi salah seorang juri dalam proses itu. Selain Dadang, yang bertindak sebagai juri adalah Asmara Nababan, Bambang Widjojanto, Melani, Ori Rahman, dan MM Billah. Penghargaan untuk mereka bertiga rencananya diserahkan hari ini di kantor Partnership di Gedung Surya, Jl MH Thamrin. Mengapa Inu dan SCTV terpilih? ‘’Problem IPDN adalah hal serius karena menyangkut orang-orang yang kelak mempunyai kekuasaan, sehingga memperbaiki IPDN adalah memperbaiki pemerintahan, kata Dadang Ditemui secara terpisah, istri Munir, Suciwati, menyambut baik penghargaan itu. (naz/jpnn)

http://batampos.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=20039

Inu Kembali Raih Award


PDF Print E-mail
JAKARTA - Keberanian dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Inu Kencana Syafie, membongkar praktik kekerasan di kampusnya mendapat apresiasi. Kemarin kandidat doktor Universitas Padjadjaran Bandung itu kembali meraih penghargaan dari Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM).
Bersama tokoh HAM almarhum Munir dan SCTV, Inu yang kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, 55 tahun lalu, itu meraih Princen Human Rights Prize 2007.
Pada penghargaan itu, Inu masuk kategori Human Rights Promotor and Educator, sedangkan Munir masuk kategori Human Rights Life Time Achievement. ”Untuk SCTV kami kategorikan sebagai Human Rights Campaigner atas liputan mereka melaporkan kekerasan dari balik tembok IPDN,” kata Direktur Eksekutif LPHAM Ahmad Hambali dalam jumpa pers di kantor Kontras kemarin.
LPHAM didirikan HJC Princen dan Yap Thiam Hien pada 29 April 1966. LPHAM yang tahun ini berumur 41 tahun juga membidani beberapa LSM HAM seperti LBH, YLBHI, Kontras, dan sejumlah lembaga lain. ”Baru kali pertama ini kami memberikan penghargaan karena peran ketiga pihak itu sangat besar dalam penegakan HAM,” tambah Dadang Trisasangko yang menjadi salah seorang juri dalam proses itu.
Selain Dadang, yang bertindak sebagai juri adalah Asmara Nababan, Bambang Widjojanto, Melani, Ori Rahman, dan MM Billah. Penghargaan untuk mereka bertiga rencananya diserahkan hari ini di kantor Partnership di Gedung Surya, Jl MH Thamrin.
Mengapa Inu dan SCTV terpilih? ”Problem IPDN adalah hal serius karena menyangkut orang-orang yang kelak mempunyai kekuasaan, sehingga memperbaiki IPDN adalah memperbaiki pemerintahan,” kata Dadang ditemui secara terpisah, istri Munir, Suciwati, menyambut baik penghargaan itu. (naz)
http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=21142&Itemid=50

Inu Kencana, Munir & SCTV Dapat Penghargaan Peduli HAM

M. Rizal Maslan - detikfood

Jakarta - Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Inu Kencana Syafei, aktivis HAM Munir dan stasiun televisi SCTV mendapat penghargaan Poncke Princen Human Rights Prize 2007. Ketiganya dianggap telah memajukan HAM di Indonesia.

"Ketiganya dianggap memberikan kontribusi yang signifikan bagi penghormatan terhadap nilai kemanusiaan dan reformasi politik," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM) Ahmad Hambali dalam jumpa pers di kantor Kontras, Jl Borobudur, Menteng, Jakarta Pusat Selasa (1/5/2007).

Menurut Ahmad, ada tiga kategori penghargaan Poncke Princen Human Rights Prize 2007, yaitu human rights promotor and educator untuk Inu Kencana, human rights life time achievement untuk Munir, dan human rights campaigner untuk SCTV.

Ahmad menambahkan, penghargaan itu diberikan berkaitan dengan berdirinya LPHAM ke-41 yang dipelopri oleh HJC Princen dan Yap Thiam Hien pada 29 April 1966. Penghargaan ini untuk pertama kalinya diselenggarakan oleh LPHAM.

LPHAM secara langsung akan memberikan penghargaan kepada ketiganya di Kantor Partnership, Gedung Surya, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu 2 Mei 2007.
http://jkt1.detikfood.com/index.php/detik.send/tahun/2007/bulan/05/tgl/01/time/145012/idnews/774716/idkanal/10

Pembahasan Perbedaan Pandangan UU Pengadilan HAM Perlu Libatkan DPR

Sabtu, 17 November 2007 08:11

Kapanlagi.com - Pembahasan perbedaan cara pandang terhadap UU Pengadilan HAM antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung perlu melibatkan DPR, sehingga penyelesaian kasus pelanggaran HAM bebas dari nuansa politis, kata peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam.

Asvi dalam diskusi tentang kebebasan memperoleh informasi publik dalam penyelesaian kasus HAM, di Jakarta, Jumat, mengatakan pelibatan DPR perlu karena institusi itu berwenang dalam menentukan apakah suatu peristiwa bisa disebut pelanggaran HAM berat.

Diskusi dengan DPR, katanya, bisa dilakukan untuk menghilangkan muatan politis di DPR dalam menentukan pelanggaran HAM berat.

DPR, menurut Asvi, dipenuhi kekuatan politis yang sarat kepentingan. "Jadi pertanyaanya apakah DPR pro penegakan HAM atau tidak," katanya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Lembaga Pembela HAM (LP HAM), Ahmad Hambali.

Hambali menegaskan, kerjasama antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung akan semakin sempurna jika melibatkan DPR, untuk menghilangkan kepentingan politis institusi tersebut dalam penegakan HAM.

Hambali menegaskan, sikap DPR yang menganggap perlu ada keputusan politis untuk kasus HAM tertentu adalah sikap yang berlebihan.

"Ini penafsiran yang monopolistik," katanya.

Penafsiran tersebut akan menghambat proses peradilan, sehingga akan mengurangi obyektivitas penegakan HAM.

Sebelumnya (31/10), Komnas HAM dan Kejaksaan Agung sepakat membentuk tim untuk menyelesaikan perbedaan cara pandang kedua institusi itu tentang Pengadilan HAM Ad Hoc.

"Kami mencapai kesepakatan, yaitu membentuk tim yang akan mencari dan mengkaji titik temu dari perbedaan itu," kata Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim di gedung Kejaksaan Agung.

Ifdhal merinci perbedaan cara pandang yang dimaksud adalah tentang pasal 43 UU Pengadilan HAM, yang mengatur pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Kejaksaan Agung, katanya, akan menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM hanya jika DPR telah merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk pengadilan HAM Ad Hoc.

Sementara itu, Komnas HAM berpendapat Kejaksaan Agung bisa melakukan penyidikan tanpa menunggu rekomendasi DPR.

"Karena itu banyak hasil penyelidikan kami dikembalikan," katanya.

Ifdhal berharap, tim antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung bisa menghilangkan perbedaan cara pandang kedua institusi itu, sehingga kasus pelanggaran HAM berat masa lalu bisa diselesaikan. (kpl/dar)

http://www.kapanlagi.com/h/0000200033.html

Preisverleihung von Poncke Princen

Freitag, 04 Mai 2007 11:00

Der Dozent der staatseigenen Verwaltungshochschule IPDN, Inu Kencana Syafei, der verstorbene Menschenrechtler Munir und das Berichtsprogramm des privaten Fernsehens SCTV erhielten vom indonesischen Menschenrechtsinstitut die Menschenrechtspreise des Jahres "Poncke Princen". Dies berichtete der Direktor des Instituts, Ahmad Hambali vor der Presse in Jakarta. Inu Kencana Syafei meldete bei der Polizei den Tod eines Studenten der Verwaltungshochschule wegen der Gewalttaten. Es wurde dann entdeckt, dass die staatseigene Verwaltungshochschule zahlreiche Gewalttaten für mehrere Jahren versteckt. Die Menschenrechtler Munir wurde vor 4 Jahren beim Flug von Jakarta nach Amsterdam vergiftet. Die Täter sind bisher noch unklar. Das Berichtsprogramm des SCTV berichteten oft Menschenrechtsverbrechen in diesem Land.

http://de.voi.co.id/news/5/tahun/2007/bulan/05/tanggal/04/id/267/

Makalah

Mewujudkan Perdamaian:

Utopia Atau Realita

Irine H. Gayatri

Disampaikan pada Forum Diskusi Interseksi, “Civil Rights dan Demokratisasi: Pengalaman Indonesia II”, (27-29 Januari 2003, Kuningan, Jawa Barat)

Pengantar

Indonesia merupakan negeri yang sarat dengan konflik kekerasan. Bersamaan dengan transisi politik, semua persoalan yang dihambat atau ditekan pada masa rezim Orde Baru mengemuka. Ketidakpuasan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah tiba-tiba menemukan penyalurannya melalui cara-cara kekerasan fisik dalam bentuk amok, dan konflik komunal. Belakangan, terdapat kecenderungan menguatnya kekerasan oleh kalangan masyarakat sendiri sehingga muncul kesimpulan bahwa kekerasan yang berlarut adalah hasil reproduksi secara sosial melalui proses intemalisasi pengalaman kognitif, setelah pada periode sebelumnya kekerasan lebih didominasi oleh kekerasan negara (state-violence) yang dilakukan secara sistemik melalui institusi-institusi kekerasan. Maka, tak heran jika sampai saat ini, berbagai bentuk kekerasan terus terjadi di berbagai level masyarakat sehingga mempermudah terjadinya letupan konflik vertikal maupun horizontal.

Di satu sisi, sangat tidak mudah untuk menguraikan akar persoalan konflik kekerasan, bahkan menuntaskannya. Di sisi lain, hal ini justru memunculkan "tantangan" baru bagi kita untuk berupaya mencari jalan keluar dengan memikirkan altematif pemecahan persoalan yang sesuai dengan potensi serta komitmen yang dimiliki. Tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk mengulas satu per satu persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konflik, krisis yang memberi "ruang" bagi munculnya konflik kekerasan, serta transisi politik yang berlangsung. Namun, menawarkan suatu agenda posisi kita sebagai peaceworker ataupun peacebuilder yang mcmiliki komitmen untuk mengupayakan altematif keluar dan konflik kekerasan, dan mendorong terbentuknya budaya damai (peace culture) sehingga memungkinkan untuk membawa potensi konflik kekerasan atau konflik kekerasan yang sudah berlangsung ke arah perdamaian yang lebih kooperatif dan positif.

Bahasan akan diawali dengan definisi konseptual mengenai konflik dan beberapa tataran perspektif pendekatan penanganan konflik (resolusi konflik, manajemen konflik, dan transformasi konflik), uraian singkat tentang konflik kekerasan dan transisi politik di Indonesia, sebagai konteks terjadinya konflik kekerasan pada level komunal disertai catatan kaki, dan diakhiri dengan sebuah refleksi mengenai pembangunan perdamaian dan altematif untuk positioning.

Definisi Konseptual

Konflik dan kekerasan merupakan dua hal yang berbeda, jika "konflik" diartikan sebagai "hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki, sasaran-sasaran atau tujuan yang tidak sejalan". Sementara itu, "kekerasan" meliputi "tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih posisinya secara penuh", atau, " sebagai "perilaku yang melibatkan kekuatan fisik, bertujuan untuk melukai, merusak, atau membunuh sesuatu atau seseorang". Dalam tulisan ini, "konflik kekerasan" dimaksud sebagai konflik komunal yang mengakibatkan kerusakan infrastruktur ekonomi, sosial, dan politik, serta menimbulkan jatuhnya korban jiwa.

Di sisi lain, sebenamya konflik merupakan sebuah hal yang niscaya, oleh karena ada kecenderungan dalam setiap individu/kelompok untuk mempertahankan kepentingannya, mengedepankan persepsi masing-masing, dan memiliki nilai-nilai/ tujuan yang berbeda dalam melihat suatu persoalan, serta cara yang berbeda untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Persoalan menjadi lain ketika tujuan-tujuan yang "incompatible" itu saling bertentangan, dan masing-masing pihak tidak dapat mencapai suatu titik kompromi, atau lebih jauh, mencapai kesepakatan dan melakukan kekerasan sebagai ungkapan ketidaksetujuan atau sebagai perwujudan untuk memperoleh kemenangan.

Dalam suatu entitas politik bernama negara otoriter, mengandaikan adanya
"konsensus politik" antara yang memerintah dan diperintah secara sukarela adalah tidak mungkin. Pada masa Orde Baru, misalnya, hampir tidak ada mekanisme lokal untuk menyelesaikan konflik di tingkat masyarakat, oleh karena lembaga-lembaga adat sudah dihancurkan negara. Akhimya, konflik tidak diakomodasi, tidak dilembagakan. Dalam suatukonstruk negara yang ditopang oleh kekuatan modal yang eksesif dan kontrol yang dilakukan oleh aparatus ideologis dan militer, konflik yang tidak terlembaga ini menimbulkan kekerasan, berbentuk tindakan destruktif, bersifat menghancurkan, mematikan dan memakan korban.

Beragam perspektif mengenai konflik telah banyak dikemukakan oleh para ilmuwan dan praktisi. Ada yang menyatakan bahwa bahwa konflik adalah instinctual agression dari manusia itu sendiri yang necessarily evil, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa konflik merupakan hal yang positif untuk perubahan dan/atau perkembangan masyarakat itu sendiri. Konflik dikategorikan berada dalam tiga level atau tingkatan: pertama, pada level individu, kedua, pada level masyarakat/negara, dan ketiga, pada level intemasional. Terdapat berbagai penyebab dan pemicu konflik, yang sangat kompleks dan tergantung pada level mana konflik tersebut terjadi. Yang patut diperhatikan adalah faktor-faktor di balik penyebab tersebut, apakah karena faktor individu manusia yang memiliki sifat agresif ataukah karena sifat masyarakat itu sendiri, ataukah sistem dan pola hubungan di antara mereka (baik lokal maupun intemasional).

Dari perspektif pendekatan untuk menangani konflik, terdapat tiga terminologi yang dominan dan seringkali mengundang perdebatan dalam implementasinya, meskipun satu dan lainnya tidak terlalu signifikan untuk dipertentangkan oleh karena memuat elemen-elemen yang saling melengkapi, yaitu (1) Resolusi konflik, (2) Manajemen Konflik, dan (3) Transformasi Konflik. Ketiga model pendekatan tersebut acap juga dipandang sebagai tahap-tahap dalam suatu proses, dimana satu tahap akan melibatkan tahap sebelumnya, misalnya tahap "resolusi konflik" akan mencakup tindakan-tindakan "pencegahan konflik" atau "conflict prevention".

Belakangan, istilah "resolusi konflik" termasuk yang seringkali digunakan oleh berbagai kalangan baik pada tataran akademik maupun praktis. Isu di balik perbedaan pendapat itu misalnya, dipicu oleh penilaian bahwa "resolusi" konflik mengesankan suatu pendekatan yang "ambisius" jika tidak dapat dikatakan "arogan", seolah terdapat suatu pendekatan yang manjur bagi penyelesaian suatu konflik. Padahal, suatu konflik hampir-hampir tidak bisa diselesaikan secara utuh/sepenuhnya.

Jika dilihat dari nature of conflict, misalnya perbedaan dalam intensitas kepentingan di antara kedua pihak yang berkonflik, maka pendekatan yang lebih "masuk akal" adalah conflict transformation, yaitu mentransformasikan atau menggeser konflik dari tingkat/level yang "mematikan" menuju kepada suatu kondisi yang dapat dikembangkan dengan suatu kerjasama di antara pihak-pihak yang bertikai. Mekanisme utamanya adalah mengalihkan energi masing-masing pihak yang berkonflik kepada situasi baru, dengan mengakui keberadaan konflik dan mengikuti dialektikanya secara alamiah, sehingga tingkat konflik bisa diturunkan dari kondisi waging war sampai kepada kerjasama sampai tercapainya suasana damai. Dalam konteks ini, konflik bukan merupakan suatu keadaan yang isolated, tanpa sebab dan proses. Karena itu konflik selalu melewati siklus yang terdiri dari indikasi awal timbulnya konflik, eskalasi permasalahan, puncak konflik, penurunan konflik, dan keadaan pasca konflik. Pada situasi pasca konflik, tidak tertutup kemungkinan berulangnya eskalasi konflik, tergantung sejauh mana tingkat hostilities yang ada. Selain itu, pendekatan yang lain adalah "conflict management". Istilah manajemen konflik merupakan suatu konsekuensi atas asumsi bahwa konflik itu merupakan suatu hai yang natural di dalam diri manusia, sehingga yang paling penting adalah bagaimana mengatur konflik tersebut untuk tidak masuk ke ambang kekerasan senjata.

Konteks Indonesia

Konflik kekerasan di Indonesia berlangsung bersamaan dengan proses transisi politik setelah krisis finansial yang parah tahun 1997. Namun, jauh sebelumnya, berbagai konflik kekerasan/"violent conflict" telah muncul sejak era prakolonial, kolonial, maupun masa Orde Baru dan periode "reformasi". Beberapa studi telah menunjukkan bahwa basis-basis konflik kekerasan sudah "terlanjur" berurat-akar pada berbagai level, terutama pada level komunal. Inti berbagai kajian itu mencakup identifikasi akar konflik, aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, serta prospek untuk mewujudkan situasi non-konflik, status quo, maupun usulan rekonsiliasi dan perdamaian jangka panjang. Catatan sejarah itu menunjukkan "keakraban" masyarakat Indonesia dengan kekerasan dalam berbagai bentuknya: struktural, simbolik, dan fisik, sehingga negeri ini sempat mendapat julukan "a violent country/culture".

Analisis terhadap akar konflik di Indonesia oleh Colombian dan Lindbland menunjukkan, kekerasan muncul di setiap level masyarakat jajahan, oleh politik kolonial (kasus "urang Rantai" di tambang Ombilin; pemberontakan Haji Hasan di Cimareme terhadap Polisi Kolonial, dan kekerasan di kawasan perkebunan Sumatra Utara). Pada masa itu, kekerasan digunakan oleh negara sebagai suatu instrumen untuk mengalahkan warga masyarakat sendiri, jika pemerintah "absen" dari penggunaan kekuatan paksaan. Kunci untuk memahami kekerasan di Indonesia paska Orde Baru, menurut Lindbland dan Colombijn, adalah dengan memperbandingkannya dengan kasus-kasus kekerasan lain: (1) dengan kasus-kasus lain di Indonesia yang terjadi pada waktu yang bersamaan; (2) dengan kekerasan yang terjadi di negara lain; dan (3) dengan kekerasan yang terjadi di masa lalu. Colombijn dan Lindbland tidak sepakat dengan pendekatan yang hanya membatasi pada Orde Baru sebagai pangkal segala bentuk konflik kekerasan yang terjadi sekarang.

Sementara, dari sudut sejarah geopolitik internasional, Mark Mazower memotret kekerasan di negara-negara pada abad keduapuluh sebagai akibat dari sisi perubahan konteks internasional dalam negara-negara di abad keduapuluh. Dalam "Violence and The State in Twentieth Century" Mazower menyebutkan: "[not] long ago, modernization was thought to lead to prosperity, social -welfare, and stability. When historical sociologists in particular sought to explain episodes of political violence along the path (or paths) to the modern era, they tended to see these as temporary. Both Barrington Moore and Charles Tilly, for instance, stressed the role of coercion and social conflict in modernisation, but only as elements in a process of transition. Of late, however, violence has moved center stage, and the twentieth century is increasingly characterized by scholars in terms of its historically levels of bloodshed". Dari sisi lain, Collins justru mempertanyakan keabsahan klaim bahwa kekerasan merupakan "budaya" Indonesia, dan mengajukan argumen bahwa klaim tersebut semata-mata ditujukan untuk melegitimasi kembalinya state-sponsored violence.

Dengan melihat beberapa sorotan terhadap konflik kekerasan di Indonesia di atas, maka wajar lah jika akhirnya di kalangan masyarakat muncul keragu-raguan bahkan sikap skeptis terhadap alternatif untuk keluar dari konflik kekerasan, jika menyimak catatan tentang konflik dan kekerasan di Indonesia. "[s]udah biasa, kak, di sini kalau satu orang mati ta'ada artinya, kami mengungsi karna tak tahu harus tinggal di mana lagi, di kampong mana, di sini saja ditolak" .

Perdamaian: Utopia atau Realita

Di sisi lain, masyarakat masih menginginkan damai. "Damai" merupakan persyaratan mutlak bagi setiap manusia yang menginginkan rasa aman. Tanpa itu, tidak mungkin seseorang atau sekelompok orang, baik dari unit terkecil dalam masyarakat ataupun bahkan dalam negara, dapat memenuhi kebutuhan sosial, politik dan ekonominya dengan baik. Di satu sisi, ada pihak-pihak yang menarik keuntungan dari sebuah "absence of peaceful situation", oleh karena mereka sangat berkepentingan terhadap "ketersediaan" konflik yang berlarut-larut, dan mayoritas berbentuk kepentingan ekonomi dan/atau politik. Di sisi lain, konsep "damai" pun ternyata kontekstual, jika diletakkan dalam situasi tertentu. Yang dimaksudkan dengan situasi damai dalam tulisan ini, oleh karenanya, bukan sekedar dalam makna yang negatif, relatif tanpa gejolak, atau tanpa konflik. Namun lebih dari itu, sebagai salah satu tujuan dari penanganan konflik. Saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut sebagai pengantar diskusi: (1) Mengapa perlu situasi damai?; (2) Apakah perdamaian sebagai prekondisi bagi rasa aman, yang merupakan hak dasar warga negara telah terpenuhi?; (3) Bagaimana mencapai situasi damai yang "sustainable", apakah faktor pendukung dan penghambatnya?; (3) bagaimana tanggungjawab negara, sekaligus stakeholders di dalam negara?

Paul Wehr, dalam "The Development of Conflict Knowledge" menyebutkan bahwa pada periode sepanjang abad -19 dan 20, kesadaran manusia tentang bagaimana suatu konflik muncul, di samping upaya-upaya untuk menanganinya dengan cara-cara yang konstruktif, semakin bertambah melalui, pada level abstrak dan dan formal, pendidikan di sekolah, forum seminar, dan pelatihan. Di Indonesia, studi untuk menelaah, mengidentifikasi, dan merumuskan usulan atau rekornendasi mengenai penyelesaian kasus-kasus konflik dilakukan baik oleh universitas, lembaga-lembaga penelitian dalam negeri dan intemasional, lembaga swadaya masyarakat, serta muncul dari kalangan pemerintah sendiri.

Oleh Wehr, "gerakan" di atas digambarkan sebagai bukan hanya sekedar "merefleksikan keingintahuan manusia terhadap persoalan konflik" dan bagaimana mewujudkan perdamaian, tetapi lebih jauh, hal ini menggambarkan proses pencarian suatu solusi terhadap semakin bertambahnya skala dan biaya dari konflik antar manusia. Situasi chaos politik, ekonomi, sosial, budaya di Indonesia yang berlangsung sejak 1997, bahkan yang telah memiliki potensi laten pada periode jauh sebelumnya, merupakan "arena" bagi pertarungan kepentingan antar individu maupun antar kelompok dalam negara. Kasus-kasus konflik kekerasan yang menelan kerugian berupa jiwa manusia, harta benda, dan efek kejiwaan berupa trauma telah membuktikan hal itu. Maka, ungkapan Wehr tentang "proses pencarian solusi" di atas sangat tepat jika dikaitkan dengan berturnbuhnya kesadaran berupa upaya-upaya untuk menyelesaikan konflik kekerasan di Indonesia yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara. Selain itu, upaya untuk menangani persoalan konflik sebenarnya justru tergantung dari pihak-pihak yang berkonflik, korban dari peristiwa konflik itu sendiri, di luar kalangan yang selama ini sering diberi atribut "kelompok masyarakat sipil" yaitu kalangan LSM dan mahasiswa.

Salah satu pertanyaan penting muncul berkaitan dengan "pelibatan pihak-pihak yang berkonflik dalam skema resolusi konflik". Asumsinya, jika dilihat dari sisi pemicu dan/atau pelaku konflik, resolusi konflik yang dilakukan melalui kesepakatan-kesepakatan damai, difasilitasi oleh dialog, tidak akan banyak berarti jika aktor-aktor yang terlibat konflik tidak disertakan untuk membangun situasi damai yang berkelanjutan ("sustainable peace building"). Namun, hal ini pun menyisakan sebuah dilema baru. Bagaimana mendesakkan suatu agenda damai melalui perundingan jika negara tidak dapat bersikap adil terhadap pihak-pihak yang dianggap musuh? Sementara, negosiasi mensyaratkan posisi setara bagi kedua pihak yang hendak melakukan negosiasi. Dalam konteks transisi politik, ini bukan hal yang mudah mengingat kalangan "civil society" sendiri dalam keadaan terpecah belah, dan demokratisasi masih berlangsung.

Dalam konflik Aceh, sekedar suatu perbandingan, tidak mudah bagi Jakarta untuk menentukan dengan siapa dialog dilakukan di Aceh, oleh karena GAM tidak hanya terdiri dari satu faksi. Baik pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) maupun pemerintahan Presiden Habibie gagal mengakhiri konflik, sehingga rakyat Aceh kemudian meminta referendum sebagai jalan untuk memutuskan masa depan propinsi tersebut, apakah tetap ingin menjadi bagian dari RI atau menjadi negara merdeka. Status Otonomi Khusus NAD tidak dipandang sebagai altematif positif untuk meredam konflik--kecuali oleh segelintir elite politik di kalangan Pemda Aceh—melainkan justru memicu persoalan baru dengan praktik-praktik pemaksaan terhadap minoritas non Islam di Aceh. Negara, sebagai salah satu aktor di balik munculnya konflik kekerasan berpotensi memicu konflik baru dengan penduduk setempat karena "mendiamkan" persoalan pengungsi. Puluhan ribu jiwa masih tinggal di kamp penampungan di tiga kabupaten di Sumatra Utara (Kabupaten Deli Serdang, Binjai, dan Langkat) paska perjanjian penghentian kekerasan di Aceh.

Kalangan kelompok masyarakat sipil di Aceh yang sempat "terbelah" dengan isu referendum sebagai mekanisme dialog, atau jalan lain menuju kemerdekaan, baru-baru ini saja kembali berada dalam satu front untuk mengkampanyekan perdamaian pasca perjanjian penghentian kekerasan. Pembentukan Trauma Center di Aceh juga tidak akan berarti apapun jika kedua pihak yang bertentangan gagal menerapkan rasa saling percaya sesuai kesepakatan "cessation of hostilities" di Swedia. Bahkan, kecenderungan pemihakan terhadap GAM pada derajat tertentu malah berpotensi memunculkan resiko baru bagi kalangan masyarakat yang sudah lelah didera konflik bersenjata.16 Kerja keras kalangan aktivis LSM di Aceh yang selama ini mengkampanyekan jalur dialog dan anti kekerasan sebagai bagian dari solusi "krisis" Aceh juga tidak banyak mendapat respon oleh pemerintah daerah dan pusat, dan berakhir sebatas kampanye interaktif dan karikatif belaka. Misalnya, dengan menggunakan momentum peringatan Hari HAM sedunia. Namun deniikian, jika kita kembalikan pada perspektif penanganan konflik, dalam kondisi "transisi" dari situasi perang ke arah perdamaian, masih ada celah bagi kalangan aktivis dan penganjur perdamaian untuk merumuskan strategi-strategi baru melalui penguatan elemen-elemen masyarakat. Belakangan, hal ini telah dimulai dengan terbentuknya ASPA (Aliansi Sipil Untuk Perdamaian Aceh).

Selain itu, contoh lain diperlihatkan oleh sebuah analisis mengenai akar konflik dan prospek perdamaian di Ambon. Zona damai yang diciptakan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang bertikai dan difasilitasi oleh kelompok penganjur perdamaian, dengan maksud memulihkan harkat dan martabat manusia di kawasan konflik, di satu sisi tidak diikuti oleh upaya yang setimpal oleh negara (pemerintah daerah dan pusat, serta aparat keamanan dan segelintir elite politik lokal), dan di sisi lain konsep yang digagas oleh kalangan "non-negara" itu juga tidak dilanjutkan dengan membuka peluang lebih besar untuk melakukan kerjasama. Sehingga timbul kesan, bahwa upaya peredaman konflik "didominasi" oleh Perjanjian Malino yang sebenamya hanya bersifat temporer, tidak mengakar. Promosi Malino Agreement sebagai satu-satunya titik tolak perdamaian di Ambon dan Maluku tampak dalam paradigma yang digunakan oleh TPIN Maluku, dan identifikasi akar konflik yang dipersempit dengan "[faktor politik" (adanya pemilihan walikota, bupati, dan gubemur); faktor ideologi (adanya kelompok separatis RMS); dan faktor sosial (jumlah penduduk yang sangat padat terutama di kota Ambon).

Apa yang Mungkin Dilakukan?

Ada poin penting ketika membicarakan soal "perdamaian", yaitu menyangkut persepsi dan interpretasi siapakah yang dominan di dalamnya. Jika Hambali merujuk pada problematika konsep "rekonsiliasi" dalam kasus Tragedi Tanjung Priok, maka hal yang sama dapat diajukan pada konsep "damai" untuk mengakhiri kasus konflik kekerasan itu sendiri. Bukankah militer juga memasang spanduk "damai itu indah" di lokasi-lokasi strategis di sudut-sudut kota dan di pelosok-pelosok desa? Sebuah kesepakatan damai, dalam konflik yang terjadi di level apapun, baik intra state (konflik internal) maupun inter-state (konflik antar negara), seharusnya memuat elemen-elemen "peace building", termasuk di dalamnya upaya penegakan hukum dan perwujudan sikap saling percaya (confidence building measures) di antara pihak-pihak yang berkonflik. Namun, jika instrumen hukum tidak lagi dipercaya oleh masyarakat, padahal keamanan juga merupakan hak warga, maka bagaimana upaya untuk mencapainya? Negara tidak berfungsi semestinya dalam menyediakan situasi aman. Dimanakah posisi stakeholders? Jika kekerasan akhirnya direproduksi oleh kelompok-kelompok "masyarakat sipil", apakah tidak ada lagi masa depan untuk kata "damai" ?

Dalam konteks ini, diperlukan upaya menelusuri kembali langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencapai tujuan perdamaian, terutama dalam konteks pemenuhan hak warga negara akan rasa aman, serta melihat bagaimana upaya untuk mewujudkan mekanisme penanganan konflik, dan signifikansinya untuk mendorong ke arah perdamaian jangka panjang di Indonesia. Apakah kita memiliki alternatif "perdamaian", yang dimaksudkan bukan dalam pengertian "negative peace" yang berbentuk sekedar penghentian kekerasan, melainkan "positive peace" yang disertai partisipasi langsung dari masyarakat untuk mewujudkannya? Pendekatan penanganan konflik manakah yang paling sesuai jika melihat pada kecenderungan bertarutnya konflik,terutama jika melihat akibat yang ditimbulkannya?

Pandangan jangka panjang terhadap konflik itu sendiri setidaknya tergantung pada dua variable: keseimbangan kekuatan, serta kesadaran terhadap keberadaan kelompok-kelompok kepentingan dan kebutuhan mereka yang terlibat konflik; dan pendekatan terhadap penanganan konflik seperti telah disebutkan di muka. Proses penanganan konflik dan upaya untuk mencapai perdamaian dapat dipahami dalam konteks tersebut. Dalam hal ini, peran peace builder terutama diharapkan muncul dari kalangan civil society, atau individu-individu yang memahami persoalan, dan mampu menganalisis dengan jernih setiap konflik yang terjadi, dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Kita dapat memposisikan diri sebagai pihak yang memberikan analisis/konsultasi, langsung melakukan advokasi, atau melibatkan diri sebagai "third party" dalam skema mediasi dan/atau negosiasi, dengan persyaratan kondisi relasi yang seimbang di antara pihak-pihak yang berkonflik.

Sebagai kesimpulan, tujuan utama dan proses pembangunan situasi damai adalah untuk merestrukturisasi hubungan-hubungan sosial yang telah rusak; dan, lebih jauh lagi, menghasilkan sebuah mekanisme penanganan konflik yang adil dan damai, dengan memperhatikan aspek-aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya yang meliputi lokus konflik tersebut. Dari sisi pandang seperti ini, mengedepankan dan membuka potensi konflik laten bukan merupakan "provokasi" atau "menambah" konflik, melainkan merupakan bagian dari proses perdamaian yang lebih luas.

Daftar Pustaka

Buku

Colombijn, Freek, and J. Thomas Lindbland, ed., Roots of Violence in Indonesia, Singapore: ISEAS,2002).

Collins, Elizabeth Fuller, Indonesia: A Violent Culture?, dalam Asian Survey, (University of California, 2002)

Ltderach, John Paul, "Introduction" and "A Framework for Building Peace" dalam "Preparing for Peace: Conflict Transformation Across Cultures" (Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1995), pp 3-23. A Summary by Tanya Closer.

Mazower, Mark, "Violence and State In The Twentieth century", Review Essay, American Historical'Review; October 2002

SuUstiyanto, Priyambudi, Whither Aceh?, dalam Third World Quarterly, 2001,. Vol.22., No.3, h. 437-452.

Makalah dan Dokumen Lain

Baku Bae, "Mayoritas Masyarakat Maluku Mendukung Pendekatan Penyelesaian Konflik dari Bawah", dalam "Tafsir Jajak Pendapat di Maiuku", tt, Maret-April 2002, h. 1-9.

Hambali, Ahmad, "Kasus Tanjung Priok dan Rekonsiliasi NasionaT, makalah dalam workshop "Rekonsiliasi di Indonesia", The RIDEP Institute dan FES: Jakarta, 2001, 29 November 2001

Muna, Riefqi, Resolusi, "Transformasi dan/atau Manajemen Konflik: Suatu Pengantar", makalah dalam Lokakarya Nasional "Perdamaian dan Resolusi Konflik: Strategi dan Aksi Lapangan", CSPS UGM dan SEACSN, Yogyakarta, 17-19 Oktober 2002.


Supriyanto, Akuat, "Paramiliter dan Demokrasi, Pemetaan Atas kelompok Paramiliter Lima Parpol Terbesar di Indonesia", makalah presentasi, NDI, Jakarta, 20 November 2002. Laporan Insiden, FPDRA, 15, 17, dan 20 September 2002.

Laporan penelitian, "Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara" The RIDEP Institute, Jakarta, Januari 2002, h. 99-101.

Laporan, "Risalah Pertemuan TPIN Dengan Narasumber", notulensi Tim Sekretariat TP1N, Jakarta, 4 Juli 2002.

Wehr, Paul "The Development of Conflict Knowledge" Conflict Research Consortium


http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/mewujudkan_perdamaian.html