Rabu, November 21, 2007

Pembahasan Perbedaan Pandangan UU Pengadilan HAM Perlu Libatkan DPR

Sabtu, 17 November 2007 08:11

Kapanlagi.com - Pembahasan perbedaan cara pandang terhadap UU Pengadilan HAM antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung perlu melibatkan DPR, sehingga penyelesaian kasus pelanggaran HAM bebas dari nuansa politis, kata peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam.

Asvi dalam diskusi tentang kebebasan memperoleh informasi publik dalam penyelesaian kasus HAM, di Jakarta, Jumat, mengatakan pelibatan DPR perlu karena institusi itu berwenang dalam menentukan apakah suatu peristiwa bisa disebut pelanggaran HAM berat.

Diskusi dengan DPR, katanya, bisa dilakukan untuk menghilangkan muatan politis di DPR dalam menentukan pelanggaran HAM berat.

DPR, menurut Asvi, dipenuhi kekuatan politis yang sarat kepentingan. "Jadi pertanyaanya apakah DPR pro penegakan HAM atau tidak," katanya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Lembaga Pembela HAM (LP HAM), Ahmad Hambali.

Hambali menegaskan, kerjasama antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung akan semakin sempurna jika melibatkan DPR, untuk menghilangkan kepentingan politis institusi tersebut dalam penegakan HAM.

Hambali menegaskan, sikap DPR yang menganggap perlu ada keputusan politis untuk kasus HAM tertentu adalah sikap yang berlebihan.

"Ini penafsiran yang monopolistik," katanya.

Penafsiran tersebut akan menghambat proses peradilan, sehingga akan mengurangi obyektivitas penegakan HAM.

Sebelumnya (31/10), Komnas HAM dan Kejaksaan Agung sepakat membentuk tim untuk menyelesaikan perbedaan cara pandang kedua institusi itu tentang Pengadilan HAM Ad Hoc.

"Kami mencapai kesepakatan, yaitu membentuk tim yang akan mencari dan mengkaji titik temu dari perbedaan itu," kata Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim di gedung Kejaksaan Agung.

Ifdhal merinci perbedaan cara pandang yang dimaksud adalah tentang pasal 43 UU Pengadilan HAM, yang mengatur pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Kejaksaan Agung, katanya, akan menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM hanya jika DPR telah merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk pengadilan HAM Ad Hoc.

Sementara itu, Komnas HAM berpendapat Kejaksaan Agung bisa melakukan penyidikan tanpa menunggu rekomendasi DPR.

"Karena itu banyak hasil penyelidikan kami dikembalikan," katanya.

Ifdhal berharap, tim antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung bisa menghilangkan perbedaan cara pandang kedua institusi itu, sehingga kasus pelanggaran HAM berat masa lalu bisa diselesaikan. (kpl/dar)

http://www.kapanlagi.com/h/0000200033.html

Tidak ada komentar: