Rabu, November 21, 2007

Pengadilan Periksa Praperadilan SKP3 Kasus Soeharto

[JAKARTA] Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (5/6), mulai memeriksa permohonan praperadilan atas keluarnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) yang diterbitkan Kejaksaan Agung untuk perkara korupsi mantan Presiden Soeharto.

Persidangan tersebut dipimpin Ketua PN Jaksel Andi Samsan Nganro yang menjadi hakim tunggal. Sedangkan pemohon praperadilan terdiri dari tiga kelompok, yakni pemohon pertama Asosiasi Penasihat Hukum Indonesia (APHI), pemohon kedua Koalisi Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (Gemas), dan pemohon ketiga adalah APHI yang mewakili masyarakat. Sebagai termohon adalah Kejaksaan Agung.

Sementara itu suasana persidangan permohonan pra peradilan SKP3 Soeharto terlihat berbeda dengan sidang-sidang lainnya. Sejak pukul 08.00 WIB Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) sudah dijaga ketat aparat kepolisian dan sejumlah petugas keamanan peng- adilan.

Beberapa petugas memeriksa dengan ketat semua pengunjung yang masuk ke gedung. Areal parkir mobil yang berada di depan gedung terlihat lengang, sebab petugas mengalihkan seluruh kendaraan untuk parkir di luar gedung. Bahkan sejumlah hakim juga dilarang memasukkan kendaraannya ke areal parkir.

Para pengunjung yang hari-hari biasa leluasa masuk ke pengadilan, kini harus mengisi buku tamu. Mereka juga harus mengenakan tanda pengenal yang disediakan petugas.

Tiga Kelompok

Tiga kelompok pemohon, yakni Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (Gemas), Asosiasi Penasihat Hukum Indonesia (APHI) yang mewakili masyarakat, dan APHI yang mewakili organisasinya sendiri.

Gemas terdiri dari PBHI, Imparsial, ELSAM, Demos, SHNI, Kontras, ICW, LPHAM, dan YLBHI.

Koalisi ini mewakilkan permohonan praperadilannya kepada 28 pengacara yang dipimpin Johnson Panjaitan.

Johnson mengatakan, "SKP3 telah merugikan kepentingan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia. SKP3 itu juga berdampak negatif pada pemberantasan korupsi dan berujung pada gagalnya pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara."

Dia berpendapat, perbuatan termohon mengeluarkan SKP3 adalah cacat hukum karena bertentangan dengan Pasal 140 Ayat 2 huruf a UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. "Justru SKP3 itu bertentangan dengan KUHAP. Sebab Pasal 140 Ayat 2 huruf a KUHAP menentukan bahwa penuntut umum dapat menghentikan penuntutan perkara dengan sejumlah alasan, yakni perkara itu tidak mempunyai pembuktian yang cukup, bukan merupakan tindak pidana, dan perkara sudah ditutup demi hukum," paparnya.

Alasan-alasan tersebut, lanjutnya, tidak dipenuhi untuk mengeluarkan SKP3. Sebab, jaksa sudah memiliki bukti yang cukup untuk membuktikan Soeharto melakukan tindak pidana korupsi.

Hal ini terlihat karena Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sudah menetapkan status Soeharto sebagai terdakwa, dan telah membuat surat dakwaan terhadap Soeharto atas dugaan korupsi tujuh yayasan. Artinya, untuk alasan kedua bahwa memang perkara tersebut adalah perkara pidana.

Sedangkan Hotma Timbul yang menjadi koordinator dari APHI mengatakan, tindakan Kejaksaan Agung menerbitkan SKP3 sangat merugikan kepentingan kepastian hukum di Indonesia. [Y-4]

http://www.suarapembaruan.com/News/2006/06/05/

Tidak ada komentar: