o Nasional - Edisi Tahun IX No. 09 - 04 Juni 2000
                                                               Sejumlah lokasi yang berkaitan dengan peristiwa Tanjungpriok telah
ditelusuri KP3T. Tapi, saksi-saksi penting tak terlalu didengar.   
   Harapan masyarakat agar kasus Tanjungpriok terkuak jelas, bisa jadi,
   tak akan kesampaian. Lihat saja, cara kerja Komisi Penyelidikan dan
   Pemeriksaan Pelanggaran HAM Tanjungpriok (KP3T) belakangan ini.
   Memasuki bulan ketiga sejak dibentuk, komisi tersebut seperti
   kehilangan gigi. Memang, tiga pekan lalu, mereka berhasil menghadirkan
   dua jenderal purnawirawan yang diduga terlibat: Benny Moerdani dan Try
   Sutrisno. Tapi, keterangan kedua figur itu justru terkesan
   menutup-nutupi fakta.   
   Demikian pula, napak tilas yang dilakukan komisi itu pada Kamis, 25
   Mei lalu. Acara itu sebetulnya dimaksudkan untuk menelusuri berbagai
   lokasi yang berkaitan dengan peristiwa Tanjungpriok yang meletup 16
   tahun lalu, termasuk tempat pemakaman korban. Tapi, kegiatan itu
   terkesan cuma basa-basi dan nyaris tidak membuahkan hasil. Malah, B.N.
   Marbun, salah seorang anggota KP3T, justru terlibat adu mulut dengan
   para keluarga korban yang mengikuti napak tilas tersebut.   
   Ketegangan antara Marbun dan keluarga korban sebenarnya sudah terasa
   di markas Resimen Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) I Kodam Jaya
   Jakarta Utara. Ketika itu, Marbun mengatakan bahwa tak mungkin korban
   yang diangkut lebih dari 20 orang. Sebab, kapasitas truk model Reo
   berukuran sedang yang digunakan tak memungkinkannya. Tapi, saksi
   korban yang saat itu ikut dilemparkan ke truk membantah. Demikian pula
   Dewi Wardah, janda almarhum Amir Biki. Menurut mereka, korban yang
   diangkut bisa mencapai 40 orang.   
   Nah, ketika mampir di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Mengkok, Jakarta
   Utara, entah disengaja atau hanya ingin bergurau, Marbun nyeletuk,
   "Kayu, kali." Celetukan itu ia lontarkan menanggapi dugaan keluarga
   korban tentang kemungkinan bahwa mayat ditumpuk dalam satu lubang
   kuburan.   
   Kedongkolan keluarga korban mencapai puncaknya di pemakaman Kramat
   Ganceng, Jakarta Timur. Sebab, Marbun yang didampingi dua anggota KP3T
   lainnya, Lies Sugondo dan Saafroedin Bahar, mengabaikan tuntutan agar
   kuburan itu dibongkar. Akibatnya, Marbun terhuyung-huyung dalam
   kepungan ratusan keluarga korban. Bahkan, tas kerja anggota Komisi
   Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) itu sempat raib.   
   "Ini kejadian yang pertama kali dalam sejarah tujuh tahun Komnas HAM,"
   kata Djoko Soegianto, Ketua KP3T yang juga Ketua Komnas HAM. Ia pula
   yang memerintahkan Marbun dan kawan-kawan kembali ke markas Komnas HAM
   di Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, mengingat begitu riskannya
   situasi yang dihadapi anak buahnya pada Kamis sore itu. Padahal, masih
   ada satu kuburan lagi, terletak di Condet, Jakarta Selatan, yang belum
   dikunjungi.   
   Sebelumnya, KP3T memang tak pernah menjanjikan akan menggali
   pekuburan. "Kami akan menanyai para saksi dulu. Bila keterangan mereka
   cukup meyakinkan, baru kami membongkar kuburan itu," kata Djoko,
   sehari sebelumnya.   
   Tapi, yang disesalkan, sikap anggota KP3T kurang terbuka dan terkesan
   "alergi" terhadap saksi yang disodorkan keluarga korban. Ketika
   mengunjungi makam, mereka tak membawa para saksi yang bisa memudahkan
   pelacakan. Misalnya saja Kemis, penggali kubur, yang mengaku menggali
   lubang kuburan di Kramat Ganceng, Jakarta Timur, mulai tengah malam
   pada 12 September 1984 hingga pagi hari. Ada juga saksi Marsudi. Lurah
   Pondok Rangon itu yang membenarkan bahwa korban peristiwa Tanjungpriok
   dimakamkan di situ. Padahal, keterangan kedua orang tersebut berguna
   untuk dikonfrontasikan dengan bantahan Abdul Madjid, pengelola TPU
   Kramat Ganceng.   
   Akibatnya, bisa diduga. KP3T tak berhasil memastikan apa-apa. Jadi,
   wajar bila Ahmad Hambali, Koordinator Koalisi Pembela Kasus Priok
   (KPKP), mengomentari napak tilas itu dengan nada sinis. "Ini hanya
   semacam tur Komnas HAM," kata Ahmad. Ia melihat, dari cara
   menanganinya, pemerintah tak bersungguh-sungguh membongkar tragedi
   Tanjungpriok dan juga berbagai tragedi berdarah di masa silam. Menurut
   Ahmad, kasus Timor Timur, misalnya, diungkap karena adanya tekanan
   internasional. Kasus 27 Juli dibongkar karena Presiden Abdurrahman
   Wahid ingin "membersihkan" tentara yang membandel. Kasus Marsinah
   diungkap karena Presiden akan berbicara dalam sidang Organisasi Buruh
   se-Dunia (ILO). Dan, "Tragedi Priok diusut untuk menyenangkan hati
   korban," ujarnya.   
   Lebih dari itu, Ahmad menilai KP3T telah terjerumus ke dalam skenario
   Try yang mengatakan ada tiga tempat pemakaman yang menjadi kuburan
   para korban. Ketiga tempat itu adalah TPU Mengkok, Jakarta Utara,
   pemakaman Condet, Jakarta Selatan, dan Kramat Ganceng, Jakarta Timur.
   Akibatnya, komisi menghabiskan banyak waktu untuk mengeceknya.
   Apalagi, setelah ditelusuri, Abdul Madjid, penjaga pemakaman Kramat
   Ganceng, misalnya, membantah kesaksian Try. Di mata Ahmad, akan lebih
   baik bila komisi mengungkap siapa yang mesti bertanggung jawab
   terhadap peristiwa tersebut. Sebab, beberapa saksi sudah menyebut
   kemungkinan adanya rekayasa militer dalam peristiwa itu.   
   Salah satunya adalah keterangan Mayor Laut (Purn.) Lasmana, yang saat
   itu bertugas di Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) II Yogyakarta.
   Sesuai dengan struktur militer kala itu, Laksusda Jaya yang menangani
   kasus Tanjungpriok berada di bawah komando Kowilhan II. Nah, sebagai
   perwira siaga di ruang Yudha, Lasmana pun mengadakan komunikasi dengan
   perwira siaga di Jakarta. Laporan yang ia terima langsung diketik saat
   itu juga, dan dilaporkan kepada Pangkowilhan II, ketika itu, Yogie S.
   Memet. Intinya, Lasmana mengakui ada rencana untuk memancing kemarahan
   umat.   
   Selain itu, ia menyimpulkan bahwa saat itu aparat tidak mau
   berkompromi. Sebab, permintaan Amir Biki, tokoh masyarakat setempat
   yang kemudian menjadi korban, agar warga yang ditahan dibebaskan
   ternyata tidak digubris. "Jawabannya abaikan. Itu diulang sampai tiga
   kali," kata Lasmana menirukan perintah komando saat itu. Ia juga
   mendapat laporan bahwa prosedur penanggulangan huru-hara tidak
   dilaksanakan. Dan, Lasmana pun menepis pernyataan tentang adanya
   perebutan senjata antara warga dan aparat seperti diucapkan oleh Try
   dan mantan Komandan Kodim Jakarta Utara, Mayjen (Purn.) R.A.
   Butar-Butar.   
   Keterangan Lasmana itu sebenarnya layak ditindaklanjuti. Apalagi, ia
   juga menyebutkan tentang keterlibatan pasukan dari berbagai kesatuan
   ketika itu. Selain Arhanud, ternyata pasukan dari kavaleri, marinir,
   dan Brigade Infanteri Jayasakti juga dikerahkan. Dan, pengerahan
   pasukan tersebut hanya dimungkinkan bila tongkat komando berada di
   tangan panglima ABRI.   
   Sayang, KP3T menganggap keterangan Lasmana tidak akurat. Alasan KP3T,
   Lasmana tidak mengetahui siapa lawan bicaranya. Ia juga tidak memiliki
   sehelai dokumen pun, seperti laporannya ke Pangkowilhan itu. Tapi,
   yang membuat Lasmana merasa kecewa adalah kesimpulan komisi. "Mereka
   bilang, yang saya sampaikan itu bukan fakta hukum," kata Lasmana.
   Padahal, beberapa anggota komisi berlatar belakang militer. Jadi,
   mereka mestinya mengetahui ihwal rahasia militer. Adalah tidak biasa,
   seorang aparat menanyakan nama anggota lain yang diajak berkomunikasi.   
   Setelah sering dikritik para keluarga korban, KP3T memang agak
   terbuka. Buktinya, komisi memperpanjang batas waktu penerimaan laporan
   pengaduan dari masyarakat hingga awal pekan ini. Para keluarga korban
   diberi kesempatan untuk menghadirkan saksi-saksi tambahan, seperti
   pilot Bejo Sumawinata, yang konon menerbangkan ratusan mayat ke
   Kepulauan Seribu.   
   Ada juga saksi penting lainnya, yakni Abdul Syukur, yang pernah
   ditahan karena menentang asas tunggal Pancasila pada saat itu. Ketika
   mendekam di rumah tahanan militer di Pasar Rebo, Jakarta Selatan, ia
   mengaku bertemu dengan 30 marinir yang ditahan. Menurut Syukur, mereka
   dimasukkan ke dalam sel gara-gara menolak perintah untuk menembak
   warga dalam peristiwa Tanjungpriok. "Mereka masih muda, usianya
   sekitar 20-25 tahun," ujar Syukur. Ia mengenal mereka pada Idul Fitri
   1985. Salah seorang di antaranya, kata Syukur, bernama Arif.   
   Mudah-mudahan, kesaksian Bejo dan Abdul Syukur itu didengar anggota
   KP3T. Dan, tentu saja, banyak orang berharap temuan komisi itu lebih
   terbuka dan serius dalam mengungkapkan fakta ketimbang rekomendasi
   sementara yang dikeluarkan awal Mei lalu. Saat itu, KP3T memang telah
   menyatakan adanya pelanggaran HAM dalam peristiwa Tanjungpriok. Tapi,
   siapa yang mesti bertanggung jawab? Itulah yang seharusnya bisa
   terjawab.   
   Fenty Effendy, A.U. Almarwan, dan Ronald Raditya
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/06/04/0003.html