Burung Pipit yang Tak Pernah Menyesal
oleh Eric Sasono
Redaktur Rumahfilm.org
Non, Rien De Rien, Non, Je Ne Regrette Rien
Ni Le Bien Qu'on M'a Fait, Ni Le Mal
Seratus empat puluh menit itu nyaris saya sesali apabila lagu berbahasa Prancis di atas tak datang pada Jumat malam itu. Saya memang menantikannya, tetapi tak pernah menduga datangnya lagu itu begitu kuat.
Saya menonton La Vie En Rose, pada Jumat malam 2 November lalu. Film itu menjadi film penutup pada Europe On Screen, festival film Eropa di Jakarta tahun 2007. Film karya Oliver Dahan ini adalah sebuah biopik penyanyi Perancis, Edit Piaf (1915 – 1963). Waktu saya bekerja di Delta FM --ketika itu masih favourit oldies station-- saya sering mendengarkan lagu itu: Non, Je Ne Regrette Rien.
Ada alasan kenapa lagu tadi membuat terasa begitu kuat. Film La Vie En Rose ini adalah sebuah biopik yang berarakan. Episode demi episode lewat bagai awan tergeret angin membawa muatan emosinya sendiri. Alur yang melompat maju mundur dengan tokoh beritu banyak membuat saya kehilangan peta plot film. Emosi Edith juga nyaris tak terlacak perkembangannya dalam keseluruhan bangunan film. Yang bisa diikuti hanya tema demi tema yang dibangun dalam sekuen demi sekuen film itu.
Film ini menceritakan hidup Edith Piaf yang dramatis. Terlahir dengan nama Edith Giovanna Gassion, ia mengubahnya menjadi Edith Piaf, burung pipit. Ibunya penyanyi jalanan dan ayahnya pemain akrobat sirkus. Edith kecil hidup bersama neneknya di rumah bordil (di situs RFI, rumah neneknya ini dikatakan sebagai sebuah peternakan). Edith tak kekurangan kasih sayang di sana karena ia jadi pembawa keriangan, kompensasi bagi para pekerja seks di situ. Maka ketika ayahnya memaksanya pergi, Edith menangis. Juga Titine yang sempat membawa Edith berdoa kepada Santa Theresa untuk kesembuhan matanya yang hampir buta karena suatu penyakit.
Edith kemudian berkelana di jalan, bernyanyi ditemani sahabatnya, Simone yang ia panggil Momone. Sampai suatu hari Louis Leplee melihatnya. Leplee yang mengelola sebuah cafe Le Gerny dekat Champs De Elysees, membawa Edith ke sana. La Mome Piaf mulai dikenal orang dan diliput media. Sampai Leplee mati akibat pembunuhan dan Edith dicurigai terlibat di dalamnya. Lolosnya Edith dari kecurigaan tak diceritakan dalam film ini, dan kemudian kita diantarkan kepada proses mentoring Edith yang melelahkan. Mentor itu bernama Raymond Asso yang mengajar Edith dengan ketelitian yang menggetarkan.
Dari situ, keterkenalan tinggal selangkah di depan Edith, majulah ia ke bawah sorot lampu itu; hingga ke Amerika. Di sana, ia bertemu cinta sejatinya, Marcel Cerdan, seorang petinju Prancis yang sedang menuju puncak karirnya. Mereka menjalin cinta sekalipun Marcel sudah menikah. Kematian Marcel kemudian membawa Edith pada kehancuran jiwanya. Ia terlibat pemakaian obat-obatan dan ini membuat kondisi tubuhnya jadi sangat buruk.
Malam terakhir bagi Edith itu datang. Perempuan bertubuh kecil itu berumur 48 tahun ketika ia sudah sulit untuk jalan dan tampak jauh lebih tua dari usianya. Ia sudah sulit untuk tampil. Tapi Non, Je Ne Regrette Rien terlalu menggodanya. Ia tampil di Olympia dengan lagu itu, yang sekaligus menutup film ini.
Film karya sutradara Olivier Dahan ini dipenuhi tokoh dan perpisahan Edith yang tak jelas dengan para tokoh itu. Mulai dari ibunya, lalu ayahnya, Titine, Simone alias Momone, suaminya Louis Dupont (tampil selintasan di film ini), anaknya Marcelle (yang muncul lebih selintasan lagi), Raymond Asso, kekasihnya Marcel Cerdan dan seterusnya. Penonton seperti tak diberi kesempatan menyelami karakter-karakter di seputar Edith ini dan mengapa mereka ada.
Ini memang film tentang seorang manusia yang memilih agar hidup berpusar padanya --semata-mata padanya-- dan bagai tak berikatan apa pun dengan sekelilingnya. Hidup boleh keras, boleh lembut, boleh nikmat, boleh pedih, boleh hiruk, boleh hening. Tapi hidup adalah hidup yang terus berjalan berpusar di satu orang: Edith Piaf, dan itu cukup bagi Edith. Tentu saja dimensi bagi peristiwa jadi tipis dan kurangnya informasi sedikit membingungkan, tapi jelas sekali bahwa Dahan sedang membawa kita mengarungi lautan emosi dalam kehidupan Edith Piaf.
Maka ketika ia bernyanyi di ujung film: Non, Rien De Rien, Non, Je Ne Regrette Rien, itulah puncaknya. Inilah hidup yang tak akan disesali oleh Edith Piaf. Maka ketika ia mendengar lagu ini pertamakali dari komposer yang menawarkannya, Edith berteriak: itu lagu saya!!
Dan ending film ini membawa saya pada ingatan di suatu siang pada 1997.
Saya mewawancarai seseorang bernama HJC Princen. Orang ini dikenal di kalangan dekatnya dengan panggilan Poncke Princen. Ia seorang prajurit KNIL Belanda yang desersi dan kemudian beralih membela Republik Indonesia. Ia ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan. Kemudian pasukan Siliwangi membebaskannya dan ia ikut bersama pasukan Siliwangi melakukan long-march dari Yogyakarta ke Bandung yang terkenal itu. Ia ingat di sepanjang jalan mereka menyanyikan lagu Lilly Marlene, lagu yang dpopulerkan diva paling terkenal pra-Perang Dunia II, Marlene Dietrich (Marlene muncul selintas dalam film La Vie En Rose).
Poncke kemudian menjadi seorang yang tak bisa diam. Ia terus memprotes sana sini. Di masa Jepang, ia ditahan oleh Jepang. Di masa Sukarno, ia memprotes Sukarno dan dipenjara. Di masa Soeharto ia juga memprotes Soeharto dan dipenjara. Bahkan ketika masih di Belanda, ia dipenjara oleh pemerintah pendudukan Jerman. Setiap pemerintahan di negeri yang ditinggalinya seperti alergi padanya. Sepanjang hidupnya, ia seperti seorang gerilyawan dan terus berteriak untuk membela apa yang disebut hak asasi manusia.
Sekalipun akibatnya ia sempat ditolak untuk masuk ke Belanda karena masih dianggap sebagai pengkhianat di sana. Ia jelas kecewa, sekalipun hal itu sudah merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihannya. Saya mendengar namanya lewat media, tapi saya cukup menghormati orang ini, sekalipun dari jauh saja.
Waktu saya temui itu, Poncke sudah berkursi roda. Ia bicara dengan tak tergesa. Suaranya pelan dan nyaris berbisik. Tapi sesekali suaranya meninggi seperti marah. Ini terjadi ketika saya bertanya mengenai soal-soal politik. Soeharto sedang di ujung kekuasaannya, dan Poncke termasuk yang sejak lama ikutan menggerogoti kekuasaan Soeharto dengan omongan kerasnya. Tapi secara umum, suasana wawancara terasa hangat dan akrab, penuh dengan cerita, kenangan, dan tawa kecil yang lepas.
Sampai saya bertanya kepadanya:
“Poncke. Seandainya Poncke bisa memilih hidup kembali, Poncke memilih untuk menjadi orang Belanda atau orang Indonesia?”
Pertanyaan itu membuatnya terdiam sejenak, dan memandangi saya dengan senyum. Seakan ia sudah mengantisipasi pertanyaan semacam ini. Lalu ia menjawab dengan pelan, nyaris berbisik.
“Saya ingat sebuah lagu dari Edith Piaf, Non, Je Ne Regrette Rien.”
Lalu ia bernyanyi dengan suaranya yang lirih.
Non, Rien De Rien
Non, Je Ne Regrette Rien
“Tidak, saya tidak menyesal...,” kata Princen. “Ini hidup saya. Apa yang sudah saya alami tak akan saya sesali. Inilah hidup saya....”
Saya terdiam mendengar nyanyiannya. Dan itulah akhir wawancara saya.
Sepuluh Tahun jarak kedua peristiwa itu. Dua orang di dua jaman terhubung oleh sebuah lagu. Baik Edith Piaf dan Poncke Princen sama-sama memiliki pusaran hidup mereka, dan saya seperti menjadi saksi yang jauh, yang terhubung samar-samar dengan keduanya. Apakah saya beruntung? Mungkin tidak --apakah arti hidup orang lain bagi saya.
Tapi inspirasi memang berjalan jauh. Poncke Princen jelas terinspirasi oleh Edith Piaf, si burung pipit yang tak pernah menyesali hidupnya. Mungkin Poncke akan menangis apabila sempat menonton film ini. Tapi Poncke tak akan pernah menontonnya karena ia sudah meninggal dunia pada 2002. Ia juga tak akan tahu bahwa di bangku Djakarta Teater itu dada saya sesak mendengar lagu itu karena teringat padanya. ***
http://www.rumahfilm.org/esai/esai_edith.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar