Kamis, November 15, 2007

Dengarlah Saksi,Wahai Komisi

o Nasional - Edisi Tahun IX No. 09 - 04 Juni 2000


Sejumlah lokasi yang berkaitan dengan peristiwa Tanjungpriok telah
ditelusuri KP3T. Tapi, saksi-saksi penting tak terlalu didengar.

Harapan masyarakat agar kasus Tanjungpriok terkuak jelas, bisa jadi,
tak akan kesampaian. Lihat saja, cara kerja Komisi Penyelidikan dan
Pemeriksaan Pelanggaran HAM Tanjungpriok (KP3T) belakangan ini.
Memasuki bulan ketiga sejak dibentuk, komisi tersebut seperti
kehilangan gigi. Memang, tiga pekan lalu, mereka berhasil menghadirkan
dua jenderal purnawirawan yang diduga terlibat: Benny Moerdani dan Try
Sutrisno. Tapi, keterangan kedua figur itu justru terkesan
menutup-nutupi fakta.

Demikian pula, napak tilas yang dilakukan komisi itu pada Kamis, 25
Mei lalu. Acara itu sebetulnya dimaksudkan untuk menelusuri berbagai
lokasi yang berkaitan dengan peristiwa Tanjungpriok yang meletup 16
tahun lalu, termasuk tempat pemakaman korban. Tapi, kegiatan itu
terkesan cuma basa-basi dan nyaris tidak membuahkan hasil. Malah, B.N.
Marbun, salah seorang anggota KP3T, justru terlibat adu mulut dengan
para keluarga korban yang mengikuti napak tilas tersebut.

Ketegangan antara Marbun dan keluarga korban sebenarnya sudah terasa
di markas Resimen Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) I Kodam Jaya
Jakarta Utara. Ketika itu, Marbun mengatakan bahwa tak mungkin korban
yang diangkut lebih dari 20 orang. Sebab, kapasitas truk model Reo
berukuran sedang yang digunakan tak memungkinkannya. Tapi, saksi
korban yang saat itu ikut dilemparkan ke truk membantah. Demikian pula
Dewi Wardah, janda almarhum Amir Biki. Menurut mereka, korban yang
diangkut bisa mencapai 40 orang.

Nah, ketika mampir di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Mengkok, Jakarta
Utara, entah disengaja atau hanya ingin bergurau, Marbun nyeletuk,
"Kayu, kali." Celetukan itu ia lontarkan menanggapi dugaan keluarga
korban tentang kemungkinan bahwa mayat ditumpuk dalam satu lubang
kuburan.

Kedongkolan keluarga korban mencapai puncaknya di pemakaman Kramat
Ganceng, Jakarta Timur. Sebab, Marbun yang didampingi dua anggota KP3T
lainnya, Lies Sugondo dan Saafroedin Bahar, mengabaikan tuntutan agar
kuburan itu dibongkar. Akibatnya, Marbun terhuyung-huyung dalam
kepungan ratusan keluarga korban. Bahkan, tas kerja anggota Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) itu sempat raib.

"Ini kejadian yang pertama kali dalam sejarah tujuh tahun Komnas HAM,"
kata Djoko Soegianto, Ketua KP3T yang juga Ketua Komnas HAM. Ia pula
yang memerintahkan Marbun dan kawan-kawan kembali ke markas Komnas HAM
di Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, mengingat begitu riskannya
situasi yang dihadapi anak buahnya pada Kamis sore itu. Padahal, masih
ada satu kuburan lagi, terletak di Condet, Jakarta Selatan, yang belum
dikunjungi.

Sebelumnya, KP3T memang tak pernah menjanjikan akan menggali
pekuburan. "Kami akan menanyai para saksi dulu. Bila keterangan mereka
cukup meyakinkan, baru kami membongkar kuburan itu," kata Djoko,
sehari sebelumnya.

Tapi, yang disesalkan, sikap anggota KP3T kurang terbuka dan terkesan
"alergi" terhadap saksi yang disodorkan keluarga korban. Ketika
mengunjungi makam, mereka tak membawa para saksi yang bisa memudahkan
pelacakan. Misalnya saja Kemis, penggali kubur, yang mengaku menggali
lubang kuburan di Kramat Ganceng, Jakarta Timur, mulai tengah malam
pada 12 September 1984 hingga pagi hari. Ada juga saksi Marsudi. Lurah
Pondok Rangon itu yang membenarkan bahwa korban peristiwa Tanjungpriok
dimakamkan di situ. Padahal, keterangan kedua orang tersebut berguna
untuk dikonfrontasikan dengan bantahan Abdul Madjid, pengelola TPU
Kramat Ganceng.

Akibatnya, bisa diduga. KP3T tak berhasil memastikan apa-apa. Jadi,
wajar bila Ahmad Hambali, Koordinator Koalisi Pembela Kasus Priok
(KPKP), mengomentari napak tilas itu dengan nada sinis. "Ini hanya
semacam tur Komnas HAM," kata Ahmad. Ia melihat, dari cara
menanganinya, pemerintah tak bersungguh-sungguh membongkar tragedi
Tanjungpriok dan juga berbagai tragedi berdarah di masa silam. Menurut
Ahmad, kasus Timor Timur, misalnya, diungkap karena adanya tekanan
internasional. Kasus 27 Juli dibongkar karena Presiden Abdurrahman
Wahid ingin "membersihkan" tentara yang membandel. Kasus Marsinah
diungkap karena Presiden akan berbicara dalam sidang Organisasi Buruh
se-Dunia (ILO). Dan, "Tragedi Priok diusut untuk menyenangkan hati
korban," ujarnya.

Lebih dari itu, Ahmad menilai KP3T telah terjerumus ke dalam skenario
Try yang mengatakan ada tiga tempat pemakaman yang menjadi kuburan
para korban. Ketiga tempat itu adalah TPU Mengkok, Jakarta Utara,
pemakaman Condet, Jakarta Selatan, dan Kramat Ganceng, Jakarta Timur.
Akibatnya, komisi menghabiskan banyak waktu untuk mengeceknya.
Apalagi, setelah ditelusuri, Abdul Madjid, penjaga pemakaman Kramat
Ganceng, misalnya, membantah kesaksian Try. Di mata Ahmad, akan lebih
baik bila komisi mengungkap siapa yang mesti bertanggung jawab
terhadap peristiwa tersebut. Sebab, beberapa saksi sudah menyebut
kemungkinan adanya rekayasa militer dalam peristiwa itu.

Salah satunya adalah keterangan Mayor Laut (Purn.) Lasmana, yang saat
itu bertugas di Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) II Yogyakarta.
Sesuai dengan struktur militer kala itu, Laksusda Jaya yang menangani
kasus Tanjungpriok berada di bawah komando Kowilhan II. Nah, sebagai
perwira siaga di ruang Yudha, Lasmana pun mengadakan komunikasi dengan
perwira siaga di Jakarta. Laporan yang ia terima langsung diketik saat
itu juga, dan dilaporkan kepada Pangkowilhan II, ketika itu, Yogie S.
Memet. Intinya, Lasmana mengakui ada rencana untuk memancing kemarahan
umat.

Selain itu, ia menyimpulkan bahwa saat itu aparat tidak mau
berkompromi. Sebab, permintaan Amir Biki, tokoh masyarakat setempat
yang kemudian menjadi korban, agar warga yang ditahan dibebaskan
ternyata tidak digubris. "Jawabannya abaikan. Itu diulang sampai tiga
kali," kata Lasmana menirukan perintah komando saat itu. Ia juga
mendapat laporan bahwa prosedur penanggulangan huru-hara tidak
dilaksanakan. Dan, Lasmana pun menepis pernyataan tentang adanya
perebutan senjata antara warga dan aparat seperti diucapkan oleh Try
dan mantan Komandan Kodim Jakarta Utara, Mayjen (Purn.) R.A.
Butar-Butar.

Keterangan Lasmana itu sebenarnya layak ditindaklanjuti. Apalagi, ia
juga menyebutkan tentang keterlibatan pasukan dari berbagai kesatuan
ketika itu. Selain Arhanud, ternyata pasukan dari kavaleri, marinir,
dan Brigade Infanteri Jayasakti juga dikerahkan. Dan, pengerahan
pasukan tersebut hanya dimungkinkan bila tongkat komando berada di
tangan panglima ABRI.

Sayang, KP3T menganggap keterangan Lasmana tidak akurat. Alasan KP3T,
Lasmana tidak mengetahui siapa lawan bicaranya. Ia juga tidak memiliki
sehelai dokumen pun, seperti laporannya ke Pangkowilhan itu. Tapi,
yang membuat Lasmana merasa kecewa adalah kesimpulan komisi. "Mereka
bilang, yang saya sampaikan itu bukan fakta hukum," kata Lasmana.
Padahal, beberapa anggota komisi berlatar belakang militer. Jadi,
mereka mestinya mengetahui ihwal rahasia militer. Adalah tidak biasa,
seorang aparat menanyakan nama anggota lain yang diajak berkomunikasi.

Setelah sering dikritik para keluarga korban, KP3T memang agak
terbuka. Buktinya, komisi memperpanjang batas waktu penerimaan laporan
pengaduan dari masyarakat hingga awal pekan ini. Para keluarga korban
diberi kesempatan untuk menghadirkan saksi-saksi tambahan, seperti
pilot Bejo Sumawinata, yang konon menerbangkan ratusan mayat ke
Kepulauan Seribu.

Ada juga saksi penting lainnya, yakni Abdul Syukur, yang pernah
ditahan karena menentang asas tunggal Pancasila pada saat itu. Ketika
mendekam di rumah tahanan militer di Pasar Rebo, Jakarta Selatan, ia
mengaku bertemu dengan 30 marinir yang ditahan. Menurut Syukur, mereka
dimasukkan ke dalam sel gara-gara menolak perintah untuk menembak
warga dalam peristiwa Tanjungpriok. "Mereka masih muda, usianya
sekitar 20-25 tahun," ujar Syukur. Ia mengenal mereka pada Idul Fitri
1985. Salah seorang di antaranya, kata Syukur, bernama Arif.

Mudah-mudahan, kesaksian Bejo dan Abdul Syukur itu didengar anggota
KP3T. Dan, tentu saja, banyak orang berharap temuan komisi itu lebih
terbuka dan serius dalam mengungkapkan fakta ketimbang rekomendasi
sementara yang dikeluarkan awal Mei lalu. Saat itu, KP3T memang telah
menyatakan adanya pelanggaran HAM dalam peristiwa Tanjungpriok. Tapi,
siapa yang mesti bertanggung jawab? Itulah yang seharusnya bisa
terjawab.

Fenty Effendy, A.U. Almarwan, dan Ronald Raditya
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/06/04/0003.html

Tidak ada komentar: