Kamis, November 15, 2007

Kebisuan Masyarakat Penyebab Terjadinya Lingkaran Kekerasan

>Sabtu, 1 Desember 2001

Jakarta, Kompas

Sikap bisu, upaya melupakan, dan pembiaran masyarakat terhadap berbagai peristiwa yang menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan, memberi kekuatan rasa tidak bersalah kepada para pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pelembagaan kejahatan kebisuan secara sadar atau tidak merupakan salah satu penyebab lingkaran kekerasan yang terjadi di Indonesia dari masa transisi Orde Lama ke Orde Baru hingga kini.

Demikian dikemukakan aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Ahmad Hambali dalam diskusi yang diselenggarakan Research Institute for Democracy and Peace (RiDep) di Jakarta, Kamis (29/11).

Hadir sebagai pembicara dalam pertemuan itu antara lain Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, peneliti LIPI Asvi Marwan Adam, Staf Pengajar FISIP UI Andi Widjajanto, pakar antropologi Fransisco Budi Hardiman, dan Ketua Dewan Pengurus YLBHI Bambang Widjojanto.

Masyarakat, kata Hambali, dalam bentuk yang lebih ekstrem secara tidak sadar malah sering kali menjadi kekuatan moral bagi para pelaku pelanggaran HAM yang secara keji terus mengulang-ulang tindakan tersebut. Stigmatisasi dan hilangnya solidaritas masyarakat terhadap korban sedikit demi sedikit mengonstruksi bangunan lingkaran kekerasan yang tidak berujung. "Masyarakat bukan hanya tidak berani menolong korban tetapi juga menjadi percaya bahwa korban patut menerima tindakan kekerasan akibat ulahnya sendiri," kata Hambali.

Meluruskan

Koordinator Penanganan Kasus Priok dan Lampung itu lebih lanjut mengemukakan, masa transisi saat ini sebaiknya dimanfaatkan pemerintah untuk meluruskan sejarah berbagai peristiwa kekerasan, termasuk kasus Tanjung Priok. Pelaku pelanggaran HAM perlu diadili bukan hanya karena mereka pernah melakukan kejahatan terhadap para korban, tetapi juga karena merusak tatanan hukum dan mengancam kemanusiaan secara luas.

"Pengadilan bagi para pelanggar HAM perlu dihadirkan sebagai bagian dari pemulihan budaya politik," kata Hambali.

Pakar sejarah Asvi Marwan Adam mengemukakan perlunya pelurusan sejarah sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah masa lalu bangsa. Pelurusan sejarah juga harus menyangkut pengungkapan hal-hal yang tabu pada masa lampau, seperti pelanggaran berat HAM dari kasus tahun 1965 sampai kasus Tanjung Priok, Peristiwa 27 Juli 1996, Trisakti, Semanggi, dan lain-lainnya.

Orde Baru, kata Asvi, di sekolah-sekolah hanya mengajarkan peristiwa G30S/PKI sesuai versi pemerintah. Akan tetapi, peristiwa pembantaian massal secara sistematis dan kasus Pulau Buru disisihkan dari memori kolektif bangsa. Pembantaian tahun 1965, katanya, merupakan kekerasan oleh negara yang bercampur dengan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat. Peristiwa-peristiwa pembantaian massal pada periode itu dilakukan secara terorganisasi, diawali kedatangan pasukan elite RPKAD ke suatu daerah untuk melatih milisi sipil yang kemudian menjadi pelaku pembantaian.

Pembantaian massal tahun 1965 itu mirip dengan kejahatan terorganisasi Mei 1998. Karena itu, menurut Asvi, perlu penelitian sejarah terhadap berbagai peristiwa kekerasan itu dalam rangka pelurusan sejarah. "Jika hal ini tidak dilakukan, bangsa ini akan melangkah ke depan dengan menyandang beban," ujar Asvi. (wis)


http://www.kompas.com/kompas-cetak/0112/01/nasional/kebi06.htm

Tidak ada komentar: