Kamis, November 15, 2007

Munir receives rights award posthumously

Jakarta Post - May 2, 2007

Jakarta – Faculty member of the Institute of Public Administration Inu Kencana Syafei, activist Munir (deceased) and SCTV TV station received the 2007 Poncke Princen Human Rights Prize for advancing human rights conditions in Indonesia.

"These three nominees significantly contributed to the advancement of humanity, its values and political reformation," Indonesian Institute for Defense of Human Rights (LPHAM) director Ahmad Hambali told detik.com news portal.

Ahmad said there were three categories for the Poncke Princen awards.

The human rights promoter and educator award was given to Inu Kencana; the human rights lifetime achievement was awarded to Munir; and the human rights campaigner award was given to SCTV.

The accolades were given to commemorate LPHAM's 41st anniversary on April 29.

http://www.asia-pacific-action.org/news/jp_munirreceivesrightsawardp_020507.htm

Dengarlah Saksi,Wahai Komisi

o Nasional - Edisi Tahun IX No. 09 - 04 Juni 2000


Sejumlah lokasi yang berkaitan dengan peristiwa Tanjungpriok telah
ditelusuri KP3T. Tapi, saksi-saksi penting tak terlalu didengar.

Harapan masyarakat agar kasus Tanjungpriok terkuak jelas, bisa jadi,
tak akan kesampaian. Lihat saja, cara kerja Komisi Penyelidikan dan
Pemeriksaan Pelanggaran HAM Tanjungpriok (KP3T) belakangan ini.
Memasuki bulan ketiga sejak dibentuk, komisi tersebut seperti
kehilangan gigi. Memang, tiga pekan lalu, mereka berhasil menghadirkan
dua jenderal purnawirawan yang diduga terlibat: Benny Moerdani dan Try
Sutrisno. Tapi, keterangan kedua figur itu justru terkesan
menutup-nutupi fakta.

Demikian pula, napak tilas yang dilakukan komisi itu pada Kamis, 25
Mei lalu. Acara itu sebetulnya dimaksudkan untuk menelusuri berbagai
lokasi yang berkaitan dengan peristiwa Tanjungpriok yang meletup 16
tahun lalu, termasuk tempat pemakaman korban. Tapi, kegiatan itu
terkesan cuma basa-basi dan nyaris tidak membuahkan hasil. Malah, B.N.
Marbun, salah seorang anggota KP3T, justru terlibat adu mulut dengan
para keluarga korban yang mengikuti napak tilas tersebut.

Ketegangan antara Marbun dan keluarga korban sebenarnya sudah terasa
di markas Resimen Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) I Kodam Jaya
Jakarta Utara. Ketika itu, Marbun mengatakan bahwa tak mungkin korban
yang diangkut lebih dari 20 orang. Sebab, kapasitas truk model Reo
berukuran sedang yang digunakan tak memungkinkannya. Tapi, saksi
korban yang saat itu ikut dilemparkan ke truk membantah. Demikian pula
Dewi Wardah, janda almarhum Amir Biki. Menurut mereka, korban yang
diangkut bisa mencapai 40 orang.

Nah, ketika mampir di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Mengkok, Jakarta
Utara, entah disengaja atau hanya ingin bergurau, Marbun nyeletuk,
"Kayu, kali." Celetukan itu ia lontarkan menanggapi dugaan keluarga
korban tentang kemungkinan bahwa mayat ditumpuk dalam satu lubang
kuburan.

Kedongkolan keluarga korban mencapai puncaknya di pemakaman Kramat
Ganceng, Jakarta Timur. Sebab, Marbun yang didampingi dua anggota KP3T
lainnya, Lies Sugondo dan Saafroedin Bahar, mengabaikan tuntutan agar
kuburan itu dibongkar. Akibatnya, Marbun terhuyung-huyung dalam
kepungan ratusan keluarga korban. Bahkan, tas kerja anggota Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) itu sempat raib.

"Ini kejadian yang pertama kali dalam sejarah tujuh tahun Komnas HAM,"
kata Djoko Soegianto, Ketua KP3T yang juga Ketua Komnas HAM. Ia pula
yang memerintahkan Marbun dan kawan-kawan kembali ke markas Komnas HAM
di Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, mengingat begitu riskannya
situasi yang dihadapi anak buahnya pada Kamis sore itu. Padahal, masih
ada satu kuburan lagi, terletak di Condet, Jakarta Selatan, yang belum
dikunjungi.

Sebelumnya, KP3T memang tak pernah menjanjikan akan menggali
pekuburan. "Kami akan menanyai para saksi dulu. Bila keterangan mereka
cukup meyakinkan, baru kami membongkar kuburan itu," kata Djoko,
sehari sebelumnya.

Tapi, yang disesalkan, sikap anggota KP3T kurang terbuka dan terkesan
"alergi" terhadap saksi yang disodorkan keluarga korban. Ketika
mengunjungi makam, mereka tak membawa para saksi yang bisa memudahkan
pelacakan. Misalnya saja Kemis, penggali kubur, yang mengaku menggali
lubang kuburan di Kramat Ganceng, Jakarta Timur, mulai tengah malam
pada 12 September 1984 hingga pagi hari. Ada juga saksi Marsudi. Lurah
Pondok Rangon itu yang membenarkan bahwa korban peristiwa Tanjungpriok
dimakamkan di situ. Padahal, keterangan kedua orang tersebut berguna
untuk dikonfrontasikan dengan bantahan Abdul Madjid, pengelola TPU
Kramat Ganceng.

Akibatnya, bisa diduga. KP3T tak berhasil memastikan apa-apa. Jadi,
wajar bila Ahmad Hambali, Koordinator Koalisi Pembela Kasus Priok
(KPKP), mengomentari napak tilas itu dengan nada sinis. "Ini hanya
semacam tur Komnas HAM," kata Ahmad. Ia melihat, dari cara
menanganinya, pemerintah tak bersungguh-sungguh membongkar tragedi
Tanjungpriok dan juga berbagai tragedi berdarah di masa silam. Menurut
Ahmad, kasus Timor Timur, misalnya, diungkap karena adanya tekanan
internasional. Kasus 27 Juli dibongkar karena Presiden Abdurrahman
Wahid ingin "membersihkan" tentara yang membandel. Kasus Marsinah
diungkap karena Presiden akan berbicara dalam sidang Organisasi Buruh
se-Dunia (ILO). Dan, "Tragedi Priok diusut untuk menyenangkan hati
korban," ujarnya.

Lebih dari itu, Ahmad menilai KP3T telah terjerumus ke dalam skenario
Try yang mengatakan ada tiga tempat pemakaman yang menjadi kuburan
para korban. Ketiga tempat itu adalah TPU Mengkok, Jakarta Utara,
pemakaman Condet, Jakarta Selatan, dan Kramat Ganceng, Jakarta Timur.
Akibatnya, komisi menghabiskan banyak waktu untuk mengeceknya.
Apalagi, setelah ditelusuri, Abdul Madjid, penjaga pemakaman Kramat
Ganceng, misalnya, membantah kesaksian Try. Di mata Ahmad, akan lebih
baik bila komisi mengungkap siapa yang mesti bertanggung jawab
terhadap peristiwa tersebut. Sebab, beberapa saksi sudah menyebut
kemungkinan adanya rekayasa militer dalam peristiwa itu.

Salah satunya adalah keterangan Mayor Laut (Purn.) Lasmana, yang saat
itu bertugas di Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) II Yogyakarta.
Sesuai dengan struktur militer kala itu, Laksusda Jaya yang menangani
kasus Tanjungpriok berada di bawah komando Kowilhan II. Nah, sebagai
perwira siaga di ruang Yudha, Lasmana pun mengadakan komunikasi dengan
perwira siaga di Jakarta. Laporan yang ia terima langsung diketik saat
itu juga, dan dilaporkan kepada Pangkowilhan II, ketika itu, Yogie S.
Memet. Intinya, Lasmana mengakui ada rencana untuk memancing kemarahan
umat.

Selain itu, ia menyimpulkan bahwa saat itu aparat tidak mau
berkompromi. Sebab, permintaan Amir Biki, tokoh masyarakat setempat
yang kemudian menjadi korban, agar warga yang ditahan dibebaskan
ternyata tidak digubris. "Jawabannya abaikan. Itu diulang sampai tiga
kali," kata Lasmana menirukan perintah komando saat itu. Ia juga
mendapat laporan bahwa prosedur penanggulangan huru-hara tidak
dilaksanakan. Dan, Lasmana pun menepis pernyataan tentang adanya
perebutan senjata antara warga dan aparat seperti diucapkan oleh Try
dan mantan Komandan Kodim Jakarta Utara, Mayjen (Purn.) R.A.
Butar-Butar.

Keterangan Lasmana itu sebenarnya layak ditindaklanjuti. Apalagi, ia
juga menyebutkan tentang keterlibatan pasukan dari berbagai kesatuan
ketika itu. Selain Arhanud, ternyata pasukan dari kavaleri, marinir,
dan Brigade Infanteri Jayasakti juga dikerahkan. Dan, pengerahan
pasukan tersebut hanya dimungkinkan bila tongkat komando berada di
tangan panglima ABRI.

Sayang, KP3T menganggap keterangan Lasmana tidak akurat. Alasan KP3T,
Lasmana tidak mengetahui siapa lawan bicaranya. Ia juga tidak memiliki
sehelai dokumen pun, seperti laporannya ke Pangkowilhan itu. Tapi,
yang membuat Lasmana merasa kecewa adalah kesimpulan komisi. "Mereka
bilang, yang saya sampaikan itu bukan fakta hukum," kata Lasmana.
Padahal, beberapa anggota komisi berlatar belakang militer. Jadi,
mereka mestinya mengetahui ihwal rahasia militer. Adalah tidak biasa,
seorang aparat menanyakan nama anggota lain yang diajak berkomunikasi.

Setelah sering dikritik para keluarga korban, KP3T memang agak
terbuka. Buktinya, komisi memperpanjang batas waktu penerimaan laporan
pengaduan dari masyarakat hingga awal pekan ini. Para keluarga korban
diberi kesempatan untuk menghadirkan saksi-saksi tambahan, seperti
pilot Bejo Sumawinata, yang konon menerbangkan ratusan mayat ke
Kepulauan Seribu.

Ada juga saksi penting lainnya, yakni Abdul Syukur, yang pernah
ditahan karena menentang asas tunggal Pancasila pada saat itu. Ketika
mendekam di rumah tahanan militer di Pasar Rebo, Jakarta Selatan, ia
mengaku bertemu dengan 30 marinir yang ditahan. Menurut Syukur, mereka
dimasukkan ke dalam sel gara-gara menolak perintah untuk menembak
warga dalam peristiwa Tanjungpriok. "Mereka masih muda, usianya
sekitar 20-25 tahun," ujar Syukur. Ia mengenal mereka pada Idul Fitri
1985. Salah seorang di antaranya, kata Syukur, bernama Arif.

Mudah-mudahan, kesaksian Bejo dan Abdul Syukur itu didengar anggota
KP3T. Dan, tentu saja, banyak orang berharap temuan komisi itu lebih
terbuka dan serius dalam mengungkapkan fakta ketimbang rekomendasi
sementara yang dikeluarkan awal Mei lalu. Saat itu, KP3T memang telah
menyatakan adanya pelanggaran HAM dalam peristiwa Tanjungpriok. Tapi,
siapa yang mesti bertanggung jawab? Itulah yang seharusnya bisa
terjawab.

Fenty Effendy, A.U. Almarwan, dan Ronald Raditya
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/06/04/0003.html

Inu Kencana, Munir dan SCTV Dapat Penghargaan

Nasional

01/05/07 19:47

Jakarta (ANTARA News) - Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Inu Kencana Syafei, aktivis HAM Munir dan stasiun televisi untuk acara Liputan 6 SCTV mendapat penghargaan Poncke Princen Human Rights Prize 2007, karena telah peduli terhadap HAM.

Direktur Eksekutif Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM) Ahmad Hambali, di Jakarta, Selasa mengatakan, ketiganya dianggap telah memberikan konstribusi dan memajukan HAM di Indonesia.

"Ketiganya telah menunjukkan komitmen dan keberanian serta konsisten memberikan andil terhadap perubahan sistem hukum yang peduli pada HAM dan demokrasi," kata Hambali.

Hambali menyebutkan, penghargaan yang diberikan kepada ketiganya dibagi dalam tiga kategori, Human Rights Promotor and Educator untuk Inu Kencana, Human Rights Life Time Achievement untuk Munir, dan Human Rights Campaigner untuk liputan 6 SCTV.

Keberanian Inu Kencana mengungkap berbagai kasus kekerasan dan penyelewengan di lingkungan kampus tempat ia mengabdi puluhan tahun. Sejak tahun 2004, Inu menerima berbagai macam teror, mulai diancam dipecat sampai dibunuh setelah ia mengungkap penganiayaan Wahyu Hidayat.

"Kita pikir keberanian Inu tidak konsisten, tapi tahun 2007, dia kembali komitmen membongkar kasus sama yang telah menyebabkan kematian praja Cliff Muntu," katanya.

Oleh karena itu, Inu Kencana dinilai pantas dikenal sebagai pionir pendidik dan promotor hak asasi meskipun kepedulian terhadap HAM dan demokrasi baru terfokus pada STPDN/IPDN.

Penghargaan untuk Munir, lanjut Hambali, untuk melengkapi berbagai pengakuan yang telah diberikan kepada Munir. LPHAM mencoba memperkuat dedikasinya sebagai penghargaan dengan kekhususan kepeloporan dalam bidang HAM, Munir dinilai pantas untuk dikenal sebagai pionir HAM.

Sementara Liputan 6 SCTV, penghargaan diberikan atas pertimbangan konsisten dan komitmennya memberikan andil terhadap perubahan sistem hukum dan politik Indonesia dengan mengungkap kasus kekerasan di STPDN/IPDN.

SCTV telah menayangkan adegan "ritual" penyematan lencana drumband kepada praja STPDN pada Juni 2003, tiga bulan sebelum Wahyu Hidayat tewas yang diberi judul "Siksa di Balik Tembok STPDN" pada 21 September 2003.

Sejarah berulang, 2 April 2007, praja Cliff Muntu meninggal dan SCTV menjadi media pertama yang melakukan telewicara dengan Rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi pada Liputan 6 siang pada 3 April 2007.

"Penghargaan terhadap SCTV, adalah simbol penghargaan untuk pers secara keseluruhan," kata Hambali.(*)

http://www.antara.co.id/arc/2007/5/1/inu-kencana-munir-dan-sctv-dapat-penghargaan/

Pemerintah dan DPR Harus Ikut Selamatkan Leuser

Pembaruan/Jurnasyanto Sukarno

PAMERAN LINGKUNGAN - Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (kanan) didampingi Ketua Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LP-HAM) Ahmad Hambali (kiri) memegang poster kampanye anti- perusakan lingkungan saat pembukaan Pameran Pencerahan Sistem Lahan Bukit Pandan di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Jumat (15/10).

JAKARTA - Pemerintah dan DPR yang baru terbentuk harus segera menyelamatkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Sebab sebanyak 58 persen lahan di KEL adalah lahan rawan longsor. Lahan rawan longsor ini terdiri dari 39 persen lahan berkarakteristik sistem lahan bukit pandan yang rawan longsor.

Sistem lahan Bukit Pandan mempunyai kemiringan lebih dari 60 derajat sehingga sangat peka longsor. ''Kemudian, 19 persen lainnya adalah sistem lahan bukit Pendreh dan Maput,'' kata Co-Director Unit Manajemen Leuser, Alibasyah Amin, Jumat (15/10) di Jakarta.

Dengan curah hujan 2.100 - 5.100 mm/hari, bahaya besar senantiasa mengancam. Terlebih lagi bila perusakan di kawasan ini dibiarkan maka akan makin banyak jatuh korban. Kejadian di Bohorok lalu telah menunjukkan pada kita bahwa kita harus menjaga ekosistem agar bencana dapat dihindari.

Pembangunan jalan Ladia Galaska yang memotong KEL, dimana banyak terdapat lahan bukit pandan, membuat daerah di Sumatera terancam bahaya. Belum lagi kepunahan beraneka ragam hayati yang pasti akan terjadi.

Untuk menyadarkan semua itu, Aliansi Organisasi Non Pemerintah Menentang Ladia Galaska menyelenggarakan pameran pencerahan lingkungan hidup.

Bertempat di lantai dasar DPR RI, akan digelar beragam foto dan pamflet yang menunjukkan kawasan itu.

Menurut Koordinator Aliansi Ornop Hasjrul Junaid, pameran tersebut diharapkan dapat memberikan pencerahan bagi DPR baru.

"Sudah tiga tahun pemerintah dan DPR setuju untuk mengucurkan dana bagi pembangunan ruas jalan Laadia Galaska. Padahal banyak sekali terjadi pelanggaran dan bila proyek ini tetap dipaksakan akan sangat merusak lingkungan," katanya.

Karena itu dia mendesak pemerintah melalui Menteri Keuangan untuk tidak mengucurkan dana Rp 349 miliar yang diajukan Gubernur NAD Abdullah Puteh akhir Juni lalu. DPR periode mendatang harus mengkaji ulang penggunaan dana untuk membangun jalan Ladia Galaska tersebut. Apalagi, dari berbagai hasil kajian menunjukkan bahwa pembangunan jalan itu tidak berdampak besar bagi masyarakat di sekitar sana.

Kerja Keras

Dia menghargai kerja keras Komisi VIII yang selama ini sangat kritis menyikapi Ladia Galaska. Tetapi bila Menteri Keuangan tetap mengucurkan dana, kerja itu tidak ada hasilnya.

Alibasyah mencontohkan kasus Bohorok, dimana saat itu curah hujan mencapai 101 mm per hari. Tanpa adanya pembalakan liar sudah terjadi bencana yang begitu besar. Jalan Ladia Galaska nantinya akan menembus hutan lindung dan hutan konservasi. Di ruas Ladia Galaska ke arah selatan, beberapa hari yang lalu terjadi longsor sehingga jalan putus mencapai 20 meter.

"Jalan di sana memang rawan longsor, bagaimana mungkin akan dibangun jalan? Kalau ini terus dipaksakan, berapa kerugian dana yang dialami pemerintah selain kerusakan ekosistem. Selain itu banyak sekali peraturan yang ditabrak dalam pembangunan jalan Ladia Galaska. Untuk ruas Jeuram-Beutong Ateh- Takengon contohnya, ada 34,8 kilometer hutan lindung yang dirusak," paparnya.

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa setiap pembangunan 1 km jalan di kawasan hutan, akan merusak 400-2.400 hektare lahan hutan.

Pameran tersebut dibuka ketua MPR, Hidayat Nur Wahid. Dalam sambutannya dia berharap kampanye di lobi gedung DPR/MPR itu dapat memberikan pencerahan bagi anggota dewan maupun masyarakat umum.

"Bagaimanapun juga kita hidup di atas tanah dan harus kita jaga tanah itu dengan selalu peduli lingkungan," katanya. (AS/N-5)

21 Tahun Tragedi Berdarah
Peristiwa Priok Diperingati dengan Unjuk Rasa

Jakarta, 12 September 2005 14:26
Peringatan 21 tahun tragedi Tanjung Priok yang menyebabkan 23 orang tewas dan 64 lainnya luka-luka diperingati dengan aksi unjuk rasa di depan gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Senin.

Sekitar 50 orang dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Kontras, Imparsial dan Ikatan Keluarga Korban Tanjung Priok yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat untuk Penuntasan Kasus Tanjung Priok (KMPKTP) memasang keranda bertabur bunga dan berorasi untuk menyatakan sikap mereka.

KMPKTP menyatakan upaya korban selama 21 tahun untuk mencari keadilan telah dihambat oleh proses peradilan yang memosisikan dirinya sebagai mesin cuci politik dari dosa para pelaku pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

"Ini dilakukan dengan menghilangkan dan membebaskan mereka dari kewajiban dan tanggung jawab atas rangkaian kejahatan sistematis pada peristiwa Tanjung Priok," kata salah satu pengunjuk rasa yang turut berorasi di depan gedung MA, Ahmad Hambali.

KMPKTP mengecam dan menolak keputusan pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok yang tidak memberikan ruang apa pun bagi penyelesaian pertanggungjawaban kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada peristiwa tersebut.

Mereka mendesak MA untuk menyelidiki berbagai proses dan putusan kontroversial pada kasus tersebut demi pemenuhan rasa keadilan para korban.

Selain itu mereka juga meminta pemerintah supaya bertanggungjawab atas buruknya putusan yang semakin mengaburkan penyelesaian kasus tersebut.

Pada 12 September 1984 terjadi bentrokan antara masa yang dipimpin Amir Biki dengan pasukan peleton III Batalyon Artileri Pertahanan Udara Sedang (Arhanudse) 06, yang menyebabkan 23 orang tewas dan 64 orang luka-luka.

Majelis hakim pengadilan ad hoc HAM Jakarta Pusat pada Agustus 2004 memvonis bebas mantan Kepala Seksi Dua Operasi Komando Distrik Militer 0502 Jakarta Utara Mayjen Sriyanto dan mantan Danpomdam Jaya Mayjen TNI Pranowo.

Sedangkan 11 anak buah mereka yang terlibat langsung dalam bentrokan tersebut mendapatkan vonis hukuman penjara antara dua hingga tiga tahun.

Majelis menilai bentrokan itu bukan merupakan serangan terencana sistematis dan meluas melainkan kejadian tidak disengaja karena saat itu pasukan diserang masa sehingga bentrokan itu tidak termasuk kategori pelanggaran HAM berat seperti yang dituduhkan.

Setelah melakukan aksi di depan gedung MA para pengunjuk rasa berencana melanjutkan aksi mereka ke Bundaran Hotel Indonesia (HI). [TMA, Ant]
http://www.gatra.com/2005-09-12/artikel.php?id=88339,
Jumat, 31 Januari 2003

Warga Tanjung Priok Datangi Kejaksaan Agung
Tanyakan Status Try Sutrisno

Jakarta, Kompas - Warga korban kasus Tanjung Priok dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendatangi Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mempertanyakan status mantan Panglima Kodam (Pangdam) Jaya Try Sutrisno dan mantan Panglima ABRI LB Moerdani dalam kasus Tanjung Priok, 12 September 1984. Mereka tetap menuntut keduanya ditetapkan sebagai tersangka.

Mereka menyatakan tidak ada alasan bagi Kejagung untuk tidak memasukkan nama Try Sutrisno dan LB Moerdani sebagai tersangka dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia berat Tanjung Priok. Kedua tokoh militer tersebut dinilai ikut bertanggung jawab atas kasus Tanjung Priok.

Tuntutan itu disampaikan Koordinator Warga Korban Kasus Tanjung Priok Beni Biki dan Koordinator Tim Investigasi Kontras Hambali, ketika berdialog dengan Ketua Satuan Tugas HAM Kejagung BR Pangaribuan di Kejagung, Kamis (30/1). Hadir dalam pertemuan itu, Kepala Biro Umum Kejagung Soetardji, dan Pelaksana Harian Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Andi Sjarifuddin.

Dalam dialog tersebut, warga korban kasus Tanjung Priok mempertanyakan pernyataan Pangaribuan yang menyatakan Try Sutrisno dan LB Moerdani tidak bisa menjadi tersangka karena tidak ada benang merah dalam kasus tersebut. "Kalau mereka tidak terkait dalam peristiwa tersebut, lalu mengapa Try Sutrisno sampai berkali-kali mengajak warga korban Tanjung Priok untuk islah. Buat apa, Try Sutrisno memberikan uang deposito Rp 300 juta kepada warga," ujar Beni Biki.

Selain Beni, Yusron bin Zainuri yang merupakan korban penembakan dalam peristiwa Tanjung Priok juga menuturkan kembali peristiwa tersebut.

Menanggapi permintaan warga Tanjung Priok dan Kontras, Pangaribuan menyatakan saat ini penyidikan kasus Tanjung Priok sudah selesai, dan tidak lama lagi akan diajukan ke pengadilan. Tersangka dalam kasus itu 14 orang, yang dibagi dalam empat berkas.

Soal penyidikan kasus Tanjung Priok, ia menyatakan dari perhitungannya telah berlangsung selama delapan belas bulan. Proses kasus tersebut dimulai Juli 2001. Dalam penyidikan telah diatur waktunya selama delapan bulan. Namun, ia mengaku pada waktu penyidikan kasus Tanjung Priok tidak ikut secara langsung karena menangani kasus Timor Timur.

Bukti baru

Soal informasi baru yang diceritakan warga Priok, Pangaribuan sempat menyayangkan kenapa informasi tersebut tidak disampaikan kepada anggota penyidik, pada waktu penyidikan kasus Tanjung Priok sehingga bisa dikembangkan kasus tersebut. "Saya kurang jelas, apakah bapak dan ibu dulu sudah pernah mengajukan bukti-bukti baru itu atau pun keterangan saksi yang ada supaya bisa dikembangkan dalam penanganan kasus itu. Nah, kalau sudah pernah diberikan kepada anggota penyidik, itu yang perlu kita pertanyakan kepada mereka, kok mereka tidak mengembangkan penanganan kasus itu sesuai dengan bukti baru yang ada," ujarnya.

Mengenai jumlah tersangka, Pangaribuan mengakui hal itu pernah ditanyakan Kontras dan pers, yang menghitung jumlah calon tersangka 36 kemudian oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas) HAM menjadi 23 orang, dan kemudian oleh penyidik menjadi 14 orang. "Kenapa kok bisa begitu, jawabannya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM itu semua nama-nama yang tercantum dalam kasus itu, apakah sebagai penanggung jawab, pendengar atau saksi, itu nama-nama direkomendasikan semua, tetapi tidak dinamakan sebagai tersangka. Itu hanya acuan untuk penyidik,"ujar Pangaribuan.

Namun, setelah berkas diteliti, dan bukti dan saksi yang ada, tidak terlihat benang merah keterlibatan Try Sutrisno dalam kasus tersebut. "Kalau secara yuridis beliau kita bisa masukkan sebagai tersangka saya tidak ragu. Hanya saya melihat dalam berkas yang ada sekarang, kalau hanya begitu berita acara yang ada, terhadap saksi, barang bukti, memang tidak kuat untuk dijadikan beliau sebagai tersangka," ujarnya. Sedangkan Moerdani sampai sekarang belum pernah diperiksa, karena menderita stroke.

Akan tetapi, Pangaribuan menyatakan jika memang ada keterangan dan bukti baru, hal itu bisa disampaikan dalam persidangan nanti untuk pengembangan kasus itu, tetapi untuk saat ini tidak mungkin, karena penyidikan kasus tersebut telah berakhir. (son)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0301/31/nasional/107736.htm

Komnas dan Pemerintah Didesak Selesaikan Kasus Tanjungpriok

Rabu, 16 Februari 2000

Jakarta, Kompas

Para korban peristiwa Tanjungpriok tahun 1984 mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan pemerintah segera menyelesaikan secara hukum kasus pelanggaran HAM berat tersebut, serta merehabilitasi nama baik para korban yang dipenjarakan pemerintah. Dengan kewenangan lebih besar yang diberikan UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM diminta untuk membentuk Komisi Penyelidikan Kejahatan (KPK) Priok.

Permintaan tersebut disampaikan Koordinator Koalisi Pembela Kasus Priok Ahmad Hambali dan beberapa korban kasus Priok, Selasa (15/2) di Komnas HAM Jakarta. Mereka diterima anggota Komnas HAM Benjamin Mangkoedilaga.

Hambali menekankan, berdasarkan UU No 39/1999, Komnas HAM menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk menyelidiki kasus kejahatan HAM di Indonesia. Oleh karena itu adalah tugas Komnas HAM untuk meneruskan penyelidikan kasus Priok hingga tuntas, termasuk meminta klarifikasi para mantan pejabat dan pejabat yang terkait dengan kasus Priok.

Dia menambahkan, Komnas HAM perlu segera mendapatkan jawaban atas tiga hal mendasar dalam rekomendasi Komnas HAM tentang kasus Priok, 9 Maret 1999 lalu, yaitu mendapatkan jawaban atas di mana para korban Priok dikuburkan, bagaimana pemerintah akan membantu para korban peristiwa Priok yang masih hidup, dan bagaimana pertanggungjawaban para pelaku maupun penanggung jawab pelanggaran HAM Priok diselesaikan tuntas melalui jalur hukum.

Menurut korban peristiwa Priok, antara lain Sulaeman dan Ahmad Syafi'i, sejak mereka dibebaskan dari penjara, pemerintah belum merehabilitasi nama baik mereka. Untuk itu mereka menuntut pemerintah melakukan rehabilitasi.

Menanggapi itu, Benjamin menjelaskan, Komnas HAM bisa saja membentuk KPP HAM atau apa pun namanya untuk menyelidiki kasus pelanggaran HAM pada masa lalu. Namun yang lebih mendesak untuk diikuti adalah bagaimana proses pembahasan RUU Pengadilan HAM akan mengatur soal asas retroaktif, karena hasil penyelidikan Komnas HAM tidak akan ada artinya bila tidak bisa diteruskan ke pengadilan HAM yang memenuhi standar. (oki)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/06/utama/karz01.htm

>Kamis, 5 Oktober 2000

Komnas HAM Sulit Dapatkan Dokumen Kasus Priok

Jakarta, Kompas

Sulitnya mendapatkan dokumen intelijen militer menjadi kendala bagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam melengkapi berkas analisis kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok. Selain karena rumitnya birokrasi, banyak dokumen tak bisa diperoleh karena sudah dimusnahkan.

Masalah itu mengemuka dalam pertemuan antara Komnas HAM dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Koalisi Pembela Kasus Priok (KPKP). Pertemuan berlangsung Rabu (4/10) siang di kantor Komnas HAM Jalan Latuharhari Jakarta. Hadir dalam acara itu Koordinator Kontras Munarman, Ketua Dewan Penasihat Kontras Munir, dan Koordinator KPKP Ahmad Hambali. Sementara anggota Komnas HAM yang menemui mereka adalah Sekretaris Jenderal Asmara Nababan, dan Ketua Tim Komnas untuk melengkapi hasil Komisi Penyelidik dan Pemeriksa Pelanggaran HAM di Tanjung Priok (KP3T), Koesparmono Irsan.

Soal kesulitan mendapatkan dokumen itu dikeluhkan oleh Koesparmono. "Saya sudah mencoba menelusuri dokumen-dokumen ini, baik di kepolisian maupun di Bais (Badan Intelijen Strategis). Sebagian besar dikatakan sudah hilang," katanya.

Salah satunya dokumen penting itu adalah rekaman pidato tanpa teks Presiden Soeharto (waktu itu) dalam Rapim ABRI di Pekanbaru, Riau, 27 Maret 1980. Dalam pidato itu Soeharto menyatakan perlu menghadapi kelompok yang anti-asas tunggal Pancasila, dengan senjata dan penculikan. "Rekaman itu sudah enggak ada. Tidak ada atau disimpan di langit ke tujuh, saya enggak tahu," tambahnya.

Dokumen kasus Priok dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, juga sulit diperoleh. Sampai-sampai untuk mendapatkan data itu, Koesparmono mengancam akan menuntut pejabat RSPAD ke pengadilan, karena dinilai menghambat pemeriksaan pelanggaran HAM. Akhirnya, dokumen bisa didapat meski tidak lengkap.

"Pertanyaan saya sederhana, berapa sih yang sakit (akibat insiden Tanjung Priok). Siapa saja mereka. Sampai sekarang data soal itu minim sekali," lanjutnya. Ia menegaskan, seharusnya dokumen-dokumen penting yang menyangkut kasus-kasus besar, tidak boleh dimusnahkan.

Koesparmono mengungkapkan masalah itu setelah Munarman dan Munir bertanya mengenai akses Komnas dalam mendapatkan dokumen itu. "Kami menanyakan ini karena Komnas mempunyai kewenangan mengambil dokumen intelijen tersebut," kata Munarman.

Sedangkan Munir mengatakan, sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan kasus Tanjung Priok harus dipastikan kebenarannya dari dokumen. Salah satunya, peristiwa penyiksaan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Cimanggis, Jakarta Timur. (p01)

http://www.asiamaya.com/berita_hukum/kasus_priok/komnas.html

Pembela Kasus Priok Desak Panggil Soeharto

>Sabtu, 23 September 2000

Jakarta, Kompas

Koalisi Pembela Kasus Priok (KPKP) mendesak Komisi Penyelidik dan Pemeriksa Pelanggaran Hak Asasi Manusia Tanjung Priok (KP3T) Komnas HAM, untuk segera memanggil mantan Presiden Soeharto, guna dimintai keterangan mengenai kasus Priok.

Koordinator KPKP Ahmad Hambali menegaskan, berdasarkan temuan koalisi tersebut, peran Soeharto yang saat itu menjadi presiden dalam insiden Priok 12 September 1984, sangat besar. Keterangan KP3T kepada Soeharto akan menjadi masukan berarti bagi kejelasan pertanggungjawaban peristiwa pelanggaran HAM Priok.

Hambali mengungkapkan hal itu dalam konferensi pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jumat (22/9). KPKP adalah koalisi bentukan empat kelompok, yakni Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), YLBHI, LBH Apik, Asosiasi Pembela Islam (API), dan Aliansi Pengacara untuk Demokrasi Indonesia (Aprodi).

"Peristiwa Priok tak terpisah dari keinginan pemerintah memaksakan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal. Dan upaya pemaksaan itu diawali pernyataan Soeharto dalam Rapim ABRI di Pekanbaru Riau, pada 27 Maret 1980, dan pidato tanpa teks di acara HUT ke-28 Kopasandha (kini Kopassus-Red), 16 April 1980," katanya.

Dalam pidato tanpa teks di HUT Kopasamdha, misalnya, data KPKP menyatakan bahwa Soeharto berkata, "....Oleh karena ABRI sudah menghendaki tidak ingin perubahan dan kalau ada perubahan wajib menggunakan senjata...... daripada kita menggunakan senjata dalam menghadapi perubahan UUD 45 dan Pancasila, lebih baik kami menculik seorang daripada dua pertiga yang ingin mengadakan perubahan..."

Pernyataan Soeharto yang bernada ancaman terhadap kelompok yang menolak asas tunggal itu, ditanggapi kritik dari sejumlah tokoh. Mereka yang mengkritik di antaranya Ketua Umum Muhammadiyah (waktu itu) KH AR Fakhrudin, Wakil Ketua PB Nahdlatul Ulama KH Anwar Musaddad, tokoh PPP Syaifudin Zuhri, Letjen AY Mokoginta, FKS Purna Yudha, dan kelompok Petisi 50.

Kritik-kritik itu tak ditanggapi pemerintah. Bahkan, pemerintah makin memojokkan kelompok kritis itu. Salah satu bukti, Panglima ABRI LB Moerdani pernah berkata, "Kenali sifat dan kegiatan musuh Pancasila, serta halangi kondisi yang memungkinkan musuh Pancasila mengembangkan diri...". Ini disampaikan dalam sebuah pidato resmi. (p01)

http://www.asiamaya.com/berita_hukum/kasus_priok/pembela.html

Heat Rises on Hendropriyono

Laksamana.Net
February 9, 2002

The respected human rights group Kontras (the Commission for Missing Persons and Victims of Violence) has raised the heat on retired Lt. Gen. A.M.Hendropriyono, demanding his removal from his position as head of the National Intelligence Body (BIN).

A statement from Kontras on Thursday (7/2/02), the anniversary of the 1989 case, maintained pressure on the retired general over his role in the Talangsari incident.

A group of NGOs has already lodged a complaint with the Jakarta
Administrative Court arguing that the general's appointment to the
intelligence seat breached government regulations on human rights.

Hendropriyono was commander of the Garuda Hitam detachment that razed a Muslim sect's base in the Lampung village. The Kontras statement marked the anniversary of the incident.

The Talangsari incident continues to provide controversy. Last September, a group of the former Talangsari families issued a statement through the National Resolution Movement (GIN - Gerakan Islah Nasional) that the case could now be closed.

Darsono, one supporter of the reconciliation process established by GIN, is said by other Talangsari victims to have been paid to forget what happened in At the September meeting at the Lampung office of the National Human Rights Commission, Darsono rejected any attempts to settle claims arising from themilitary action through the courts.

Both Kontras and Committee for Solidarity with the People of Lampung (Smalam) have both been trying to keep the case alive in the courts but say their efforts have been blocked by Hendropriyono loyalists.

The human rights groups say a special inquiry is required to find out exactly what happened at Talangsari, where nearly 250 members of the Warsidi sect are believed to have been gunned down by troops in what was one of the most serious human rights violations of the Suharto era.

Kontras coordinator for the case, Ahmad Hambali, says the reconciliation process pursued by GIN merely represents manipulation on the part of the Hendropriyono camp.

He says those who support the GIN process are those living in the community at the time but who did not lose members of their close family. "The Talangsari case represents a major human rights violation and the nation
needs to settle this. It is not often just to seek a peaceful resolution," says Hambali.

Soon after the incident took place, then commander of the Sriwijaya Command Maj. Gen. Sunardi said 31 people had died. Other sources claimed that 246 people had died, including 127 women and children.

The end of the Suharto era in 1998 allowed the Talangsari case to be raised again, along with other major human rights abuses such as the 1984 Tanjung Priok case, where the reconciliation process has also been used to protect the commander there, former Vice President Try Sutrisno. Similar objections from some victims were raised at Tanjung Priok as at Lampung, arguing that not all the victims were prepared to settle the case.

The Warsidi attracted the attention of the government because of its demand for an Islamic national state. Under Suharto's leadership, radical Islam was kept firmly in its place and the Talangsari incident was merely one of the most dramatic actions aimed at stamping out such radicalism.

Many members of the community were jailed after the crackdown, and those that have been released from jail have found themselves "looked after" by Hendropriyono supporters in order to reduce the level of complaints.

Hendropriyono himself is on record as saying that the court cases that jailed the Warsidi activists were officially the end of the case. "The courts made their judgements and if a new government wants to review and change these judgements, we have to ask what sort of nation we are in," he is reported as saying.

Sources close to the retired lieutenant general say he realizes he cannot expect the case to disappear just like that.

Fikri Yasin, coordinator of Smalam's working group, says the use of violence in the name of national stability cannot be justified. "We do not consider that this case is closed," he said after the September meeting in Bandar Lampung.

Smalam continues to maintain that the death toll from the attack by four platoons of Hendropriyono's troops stands at 246, 137 of them women.

Sources in Lampung state that efforts continue to try to erase the memories of the Talangsari incident by offering them new and better lives. A number of former detainees have happily accepted the deals offered them.

The process of re-investigating the case commenced in June 1998 with a meeting between former detainees and Hendropriyono in Jakarta in which the former commander provided guarantees of the welfare of families. He also arranged the early release of 15 still in jail on charges related to the sect's demand for an Islamic state by way of President Instruction No. 101/G/1998.

A second presidential instruction, No. 203/1998, allowed for 'rehabilitation' efforts on the behalf of another 20 former detainees. They were set up in shrimp farming enterprises, using 100 hectares of land provided by Hendropriyono.

Some of the victims acknowledge that they have made 180 degree turns in their attitudes. One former detainee, Fauzi Isnan, says everybody needs to realize that the former relationship between the military and Islam involved many mistakes.

"I still believe the best way out is for us to put aside our suspicion and dislike. Let's try to see this case in the context of national
reconciliation."

The problem for Hendropriyono is that there are still many victims of the attack who are not prepared to accept this sort of reconciliation.

"There are some 50 people who refuse to be co-opted or seduced by Hendropriyono. We will continue to support their cause," says Smalam's Fikri Yasin.

Pengangkatan AM Hendropriyono Sebagai Kepala BIN Digugat

Jumat, 09 November 2001, 16:55 WIB

Jakarta, KCM

Korban peristiwa Talangsari Lampung mengajukan gugatan hukum terhadap Presiden Megawati Soekarnoputri meminta Presiden membatalkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 229 Tahun 2001 tentang pengangkatan Letjen AM Hendropriyono sebagai Kepala Badan Intelijen Nasional (Ka BIN).

Gugatan korban Talangsari ini diwakili oleh lima orang korban yaitu, Azwar bin Kaili (58), Suparmo (57), Edy Asyadat (24), Aji Waluyo (24), dan Akmal bin Maulana (28). Mereka mewakili 65 korban Talangsari yang tersebar di Lampung dan Solo.

Gugatan tersebut, Kamis (8/11), didaftarkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta melalui kuasa hukumnya yang berasal dari Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Lampung, Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM Indonesia), dan Komite Solidaritas Masyarakat Lampung (Komite Smalam).

Koordinator kasus Talangsari Kontras Ahmad Hambali menyampaikan hal ini kepada para wartawan di kantor LBH, Jakarta, Jumat (9/11). Didampingi para korban dan Koordinator Komite Smalam Fikri Yasin, Hambali mengatakan, pemerintah telah menyalahi prinsip penyelenggaraan yang baik dengan mengangkat Hendropriyono sebagai Ka BIN.

Sebabnya, Hendro yang diduga kuat terlibat dalam kasus Talangsari sampai hari ini belum dimintai pertanggungjawabkan secara hukum. Hambali khawatir Hendropriyono akan menghambat pemajuan dan penegakkan HAM, khusunya proses pengusutan pelanggaran HAM dalam kasus Talangsari.

"Hal itu pernah dilakukan oleh Hendropriyono semasa menjabat sebagai Menteri Transmigrasi di era Habibie yang turut memfasilitasi terbentuknya apa yang disebut sebagai Gerakan Islah Nasional pimpinan Darsono yang pada akhirnya diketahui bersama, kelompok inilah yang paling kuat melakukan penolakan kasus Talangsari secara hukum antara lain lewat KPP Komnas HAM," jelas Hambali.

Pertengahan September 2001, Darsono bersama kelompok islahnya pernah mendatangi kantor Komnas HAM, Jakarta. Mereka menginginkan kasus Talangsari dianggap selesai sehingga tidak perlu dibentuk KPP lagi.

KPP HAM Talangsari sendiri yang sudah diputuskan dalam rapat pleno Komnas HAM urung berjalan sampai hari ini. Anggota Komnas HAM BN Marbun mengatakan, Komnas HAM akan mengirim tim klarfikasi ke lapangan yang akan menentukan kelanjutan KPP ini.

Selanjutnya Hambali mengatakan, penempatan Hendropriyono sebagai Ka BIN menunjukkan wujud dan sikap pemerintah yang tidak memiliki sense of humanity. Dengan itu, pemerintah dinilai kurang mendukung upaya penegakan hukum dan penghapusan impunity (kekebalan hukum) yang selama ini dinikmati para pelaku pelanggar HAM.

"Pemerintah seharusnya tidak menempatkan orang-orang yang pernah terlibat kasus-kasus pelanggaran HAM berat baik yang sudah maupun yang belum dipertanggungjawabkan kesalahan masa lalunya untuk diangkat sebagai pejabat publik," ungkap Hambali.

Sementara itu salah seorang korban, Azwar bin Kaili menceritakan, pada bulan Agustus 2001 dia pernah didatangi orang berseragam TNI berpangkat Letnan Kolonel. Orang itu datang ke rumah Azwar di Lampung dengan dikawal oleh pasukan CPM dan seorang ajudan. Kepada Azwar orang itu meminta agar tidak mengungkit-ngungkit lagi kasus Talangsari.

Kasus Talangsari adalah tragedi yang terjadi pada tanggal 9 Februari 1989. Di desa Talangsari, Kecamatan Way Jepara, Lampung terjadi bentrokan antara aparat Korem Garuda Hitam (saat itu Kolonel AM Hendropriyono menjabat sebagai Komandan Korem) dengan penduduk setempat.

Korban yang tewas dalam kasus Talangsari menurut versi militer sekitar 30 orang, namun menurut versi penduduk, korban mencapai 280 orang. (mbk)

http://www.kompas.com/berita-terbaru/0111/09/headline/070.htm

Soal Kelambatan Kerja KPP HAM Priok, DPR akan Panggil Komnas HAM

Sabtu, 13 Mei 2000

Jakarta, Kompas

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan memanggil Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) setelah berakhirnya reses, untuk menanyakan
proses penanganan masalah pelanggaran HAM dalam kasus Tanjungpriok
oleh Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Priok. Sejauh ini, KPP
HAM Priok tampak lamban, tidak semangat seperti menangani kasus Timor
Timur. Mereka kurang menggigit dalam mengejar jawaban para jenderal
yang semuanya mungkir. Hal tersebut disampaikan anggota DPR Hartono
Mardjono, ketika datang ke Komnas HAM, Jakarta, untuk memenuhi
undangan KPP HAM Priok dalam kapasitasnya sebagai narasumber KPP HAM
Priok, Jumat (12/5). Nama Hartono diusulkan oleh Koalisi Pembela Kasus
Priok (KPKP) sebagai anggota KPP HAM Priok, namun kemudian hanya
dijadikan narasumber.

"Kami dulu waktu menerima KPKP, pernah dialog dan kami menjanjikan
akan mengikuti terus dan kalau perlu akan mengundang Komnas HAM,
sampai dimana proses penanganan masalah tragedi Tanjungpriok," jelas
Hartono.

Sementara itu, undangan serupa terhadap sejumlah narasumber KPP HAM
Priok lainnya ditolak oleh narasumber yang bersangkutan maupun KPKP,
karena ada kecenderungan kuat KPP HAM Priok hanya mencantumkan para
narasumber untuk melegitimasi hasil kerjanya. Padahal, sebagaimana
dijelaskan Koordinator KPKP Ahmad Hambali, maupun para anggota
narasumber KPP HAM Priok yaitu Irianto Subiakto, Apong Herlina, Ahmad
Yani, KPP HAM Priok selama ini tidak pernah melibatkan para narasumber
itu. Bahkan permintaan para narasumber itu untuk membaca Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) dalam rangka memberikan masukan kepada KPP HAM
Priok, tidak ditanggapi.

Menurut Hartono, cara KPP HAM Priok menangani soal Priok seperti
menangani pekerjaan rutin sehari-hari saja, dan bukan merupakan
crash-program seperti masalah Timtim. "Ini kan harusnya crash-program,
malahan lebih didulukan ketimbang Timtim. Jangan mentang-mentang tidak
ada tekanan internasional. Bisa saja itu karena anggotanya orang
Komnas semua. Akan tetapi meskipun anggotanya orang Komnas, kalau dia
punya rasa tanggung jawab, rasa keprihatinan bahwa yang menjadi korban
adalah rakyat bangsa Indonesia, harusnya tidak begitu," ungkapnya.

Hartono juga mengkritik para jenderal yang telah dipanggil KPP HAM
Priok, karena tidak memberikan jawaban yang sebenarnya. "Counter-nya
banyak nanti dari saksi-saksi lain. Masih banyak saksi yang perlu
dipanggil untuk menjelaskan apa yang diterangkan oleh Benny Moerdani
dan Try Sutrisno itu tidak benar," tegasnya.

Tidak jelas

Hambali menjelaskan, pada tanggal 10 Maret 200 KPKP mengajukan enam
nama untuk menjadi anggota KPP HAM Priok, yaitu Irianto Subiakto,
Apong Herlina, Ahmad Yani, Hartono Mardjono, Hussein Umar, dan
Kusmawan. Akan tetapi, KPP HAM Priok malah hanya menjadikan keenam
orang itu sebagai narasumber yang tidak jelas fungsi dan kewenangannya
dalam proses-proses pemeriksaan dan penyelidikan KPP HAM Priok.

Oleh karena itulah, baik Irianto, Apong dan Ahmad Yani maupun KPKP
menolak undangan KPP HAM Priok karena sejak awal KPP HAM Priok tidak
pernah menjelaskan orientasi kerja, bahkan tidak menjawab permintaan
anggota narasumber tersebut untuk diberikan salinan BAP, serta
mengikutsertakan pada setiap proses pemeriksaan dan penyelidikan.

Irianto mengungkapkan, dia menyayangkan praktik beberapa instansi
pemerintah yang menempatkan orang-orang dari LSM yang kritis dalam
soal HAM sekadar untuk pelengkap. "Seolah-olah sudah melibatkan banyak
orang padahal tidak pernah dilibatkan. Kami tidak ingin menjadi bagian
dari skenario besar yang kami sendiri tidak tahu. Persoalan dalam
penyelidikan itu apa, kita sendiri tidak tahu karena mereka tidak
melibatkan sejak awal," tegasnya. (oki)

http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/05/12/0032.html

Kebisuan Masyarakat Penyebab Terjadinya Lingkaran Kekerasan

>Sabtu, 1 Desember 2001

Jakarta, Kompas

Sikap bisu, upaya melupakan, dan pembiaran masyarakat terhadap berbagai peristiwa yang menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan, memberi kekuatan rasa tidak bersalah kepada para pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pelembagaan kejahatan kebisuan secara sadar atau tidak merupakan salah satu penyebab lingkaran kekerasan yang terjadi di Indonesia dari masa transisi Orde Lama ke Orde Baru hingga kini.

Demikian dikemukakan aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Ahmad Hambali dalam diskusi yang diselenggarakan Research Institute for Democracy and Peace (RiDep) di Jakarta, Kamis (29/11).

Hadir sebagai pembicara dalam pertemuan itu antara lain Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, peneliti LIPI Asvi Marwan Adam, Staf Pengajar FISIP UI Andi Widjajanto, pakar antropologi Fransisco Budi Hardiman, dan Ketua Dewan Pengurus YLBHI Bambang Widjojanto.

Masyarakat, kata Hambali, dalam bentuk yang lebih ekstrem secara tidak sadar malah sering kali menjadi kekuatan moral bagi para pelaku pelanggaran HAM yang secara keji terus mengulang-ulang tindakan tersebut. Stigmatisasi dan hilangnya solidaritas masyarakat terhadap korban sedikit demi sedikit mengonstruksi bangunan lingkaran kekerasan yang tidak berujung. "Masyarakat bukan hanya tidak berani menolong korban tetapi juga menjadi percaya bahwa korban patut menerima tindakan kekerasan akibat ulahnya sendiri," kata Hambali.

Meluruskan

Koordinator Penanganan Kasus Priok dan Lampung itu lebih lanjut mengemukakan, masa transisi saat ini sebaiknya dimanfaatkan pemerintah untuk meluruskan sejarah berbagai peristiwa kekerasan, termasuk kasus Tanjung Priok. Pelaku pelanggaran HAM perlu diadili bukan hanya karena mereka pernah melakukan kejahatan terhadap para korban, tetapi juga karena merusak tatanan hukum dan mengancam kemanusiaan secara luas.

"Pengadilan bagi para pelanggar HAM perlu dihadirkan sebagai bagian dari pemulihan budaya politik," kata Hambali.

Pakar sejarah Asvi Marwan Adam mengemukakan perlunya pelurusan sejarah sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah masa lalu bangsa. Pelurusan sejarah juga harus menyangkut pengungkapan hal-hal yang tabu pada masa lampau, seperti pelanggaran berat HAM dari kasus tahun 1965 sampai kasus Tanjung Priok, Peristiwa 27 Juli 1996, Trisakti, Semanggi, dan lain-lainnya.

Orde Baru, kata Asvi, di sekolah-sekolah hanya mengajarkan peristiwa G30S/PKI sesuai versi pemerintah. Akan tetapi, peristiwa pembantaian massal secara sistematis dan kasus Pulau Buru disisihkan dari memori kolektif bangsa. Pembantaian tahun 1965, katanya, merupakan kekerasan oleh negara yang bercampur dengan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat. Peristiwa-peristiwa pembantaian massal pada periode itu dilakukan secara terorganisasi, diawali kedatangan pasukan elite RPKAD ke suatu daerah untuk melatih milisi sipil yang kemudian menjadi pelaku pembantaian.

Pembantaian massal tahun 1965 itu mirip dengan kejahatan terorganisasi Mei 1998. Karena itu, menurut Asvi, perlu penelitian sejarah terhadap berbagai peristiwa kekerasan itu dalam rangka pelurusan sejarah. "Jika hal ini tidak dilakukan, bangsa ini akan melangkah ke depan dengan menyandang beban," ujar Asvi. (wis)


http://www.kompas.com/kompas-cetak/0112/01/nasional/kebi06.htm

TEROR OKNUM PEMUDA PANCASILA DI GARUT


JAKARTA (PIPA) -- Rumor yang beredar luas selama ini bahwa
Pemuda Pancasila ada di balik teror terhadap para aktivis seakan
terbukti dengan adanya serangan terhadap kantor Forum Pemuda dan
Pelajar Mahasiswa Garut (FPPMG). Sekitar 20-an preman 6 Mei lalu
merusak kaca jendela nako, menendangi alat-alat dapur,
mengobrak-abrik dokumen bahkan melukai tiga orang aktifis pemuda
FPPMG.

"Mereka sudah diperiksa dan tinggal menunggu sidangnya,"
ujar Kapolres Garut Letkol Dede Djayalaksana seperti ditirukan
oleh koordinator FPPMG Ahmad Hambali.

Hambali seraya menambahkan bahwa oknum-oknum Pemuda
Pancasila memang terbukti terdapat dalam barisan tertuduh. Polres
Garut sejauh ini masih menahan 17 orang, tiga di antaranya adalah
siswa SMA Cilawu, untuk dimintai keterangan.

Saat serbuan terjadi, di kantor itu sedang berlangsung
diskusi yang diikuti sekitar 10 orang, termasuk seorang dari
Pusat Perjuangan Buruh Indonesia sebuah organisasi yang bergerak
di kalangan buruh. Dikagetkan oleh serbuan mendadak itu, mereka
terpaksa lari. Tiga orang sempat ditendang dan dipukuli termasuk
Saefulmillah yang tidak sempat lari dan diseret para preman itu
keluar halaman serta ditusuk pada punggungnya. Ia terpaksa
dirawat di rumah sakit Garut.

Serbuan ini diduga kuat didalangi oleh Pemuda Pancasila
karena dipimpin oleh Dadang Oray, salah seorang aktivis
organisasi loreng-loreng itu yang juga preman dan tukang palak
di terminal Garut. Konon, teror ini juga "direkayasa" oleh Toni
"Tonton" Munawar, Sekretaris Pemuda Pancasila Kabupaten Garut dan
dibeking oleh Dandim dan Kakansospol setempat. "Tonton tampaknya
pernah menjanjikan kepada Dadang bahwa dia tidak akan ditahan
sehubungan dengan kasus serbuan tersebut," kata Hambali.

Adapun motivasi Tonton untuk menyerbu kantor FPPMG tidak
lain adalah ekonomi. "Tonton mengharapkan bisa mendapatkan proyek
pemerintah dengan melakukan serbuan itu," kata Hambali.

Danrem Garut Kol. Adam Damiri sendiri berjanji bahwa
pihaknya akan mengusut tuntas kasus ini seraya menolak
dugaan-dugaan yang belum terbukti di ruang pengadilan.

Bagaimana komentar dari Pemuda Pancasila? Ketua Harian
Pengurus Pusat Yorris Raweyai seraya menghimbau agar pihak-pihak
lain tidak terprovokasi, mengatakan bahwa kasus tersebut adalah
akibat ulah brandal, bukan organisasi kepemudaan manapun.

Tentunya ini bukan satu-satunya kasus teror Pemuda
Pancasila. Kuat dugaan bahwa kasus serupa yang terjadi di
pelbagai daerah lain juga didalangi oleh mereka. Misalnya
pembakaran Kantor LBH Medan, serbuan atas lima anggota Senat
Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi yang melakukan mogok makan
di Surabaya 21 Mei lalu, serta demostrasi-demostrasi tandingan
sepanjang pengadilan kasus Sri Bintang Pamungkas di pengadilan
negeri Jakarta Pusat.
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/06/06/0000.html

Menilai Kinerja Polisi Harus Proporsional


Keterlibatan sejumlah anggota kepolisian dalam tindak kejahatan sudah bukan rahasia lagi. Kejahatan itu bahkan melibatkan perwira tinggi. Wajah institusi kepolisian tercoreng di sana sini.

Tetapi Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri Makbul Padmanegara meminta masyarakat melakukan penilaian terhadap institusi kepolisian secara objektif.

“Masyarakat harus proporsional, rasional dan obyektif dalam memberikan apresiasi terhadap kinerja polisi, sebab bagaimanapun baik buruknya polisi juga menjadi tanggungjawab bersama, bukan monopoli tanggung jawab polisi, kata Makbul, saat tampil sebagai pembicara dalam talkshow “Penegakan Hukum oleh Polri di Lapangan” yang digelar di Jakarta, Rabu (11/01).

Makbul mengakui masih ada kelemahan di tubuh Polri. Kendala internal dan eksternal bisa menghambat upaya kepolisian untuk memenuhi harapan masyarakat yang demikian besar. Apalagi polisi bersemboyan sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.

Salah satu kendala di lapangan adalah minimnya prasyarat dasar yang dimiliki polisi untuk dapat memenuhi harapan masyarakat secara profesional. Sebut misalnya pengetahuan (knowledge), keahlian (skill), moral dan ketersediaan sarana dan prasarana.

Pada kesempatan yang sama, pengamat kepolisian Bambang Widodo mengatakan bahwa polisi sebenarnya memiliki kewenangan besar untuk menegakkan hukum. Persoalannya adalah bagaimana mengelola dan mengawasi kewenangan yang besar itu agar tidak menyimpang. “Itu menjadi tugas bersama,” ujarnya.

Menurut Bambang, di tengah kekuasaannya yang besar tuntutan masyarakat terhadap kinerja polisi seringkali tidak rasional. Masyarakat terlalu berharap polisi untuk bisa melakukan segalanya, sementara fasilitas yang tersedia tidak memungkinan polisi melakukan segalanya.

“Patut sekiranya masyarakat memahami berbagai keterbatasan polisi. Pemahaman tentang keterbatasan ini penting, agar masyarakat lebih proporsional dalam menilai kinerja polisi,” tambahnya.

Kritikan pedas terhadap kinerja kepolisian dalam penegakan hukum datang dari Ahmad Hambali. Direktur Eksekutif Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM) itu berpendapat polisi yang profesional masih jauh panggang dari api. Kasus-kasus yang terjadi menunjukkan, status polisi sebagai profesi terhormat belum terbukti sepenuhnya.

Ditambahkan Hambali, proses sipilisasi polisi belum berjalan sebagaimana mestinya. Mensipilkan polisi adalah menjadikan polisi lebih manusiawi dalam penegakan hukum. Ia melihat, arogansi kekuasaan dan penggunaan kekerasan masih mendominasi tugas-tugas kepolisian selama ini. “Arogansi kekuasaan dan pendekatan kekerasan menjadi sesuatu yang sulit dirubah,” katanya.

http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/06/06/0000.html

Here I Am

Ahmad Hambali adalah salah satu aktivis HAM asal Indonesia yang dibesarkan dalam lingkungan pesantren, selain menjabat sebagai Direktur Eksekutif LPHAM (sejak 2003) dan Chief executive The Regional Autonomy Center (sejak 2006), ia juga menjadi Ketua Dewan Pengurus The Ahmad Dukri Foundation (Sejak 1999) sebuah lembaga pesantren terpadu di Jakarta. menurutnya Islam yang ia pelajari semakin menguatkan komitmennya untuk tetap konsisten di jalur advokasi,pendampingan dan gerakan anti kekerasan berbaur dengan rekan-rekannya dari berbagai golongan, jenis kelamin, keyakinan dan ragam etnis. Karena itulah ketika KontraS memintanya bergabung di tahun 1999, mantan Kepala Divisi Pertanahan LBH Nusantara (1996) ini sangat antusias. Ujung dari aktifitasnya di KontraS adalah kemampuannya untuk mengelola pembelaan kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok dalam sebuah Koalisi lembaga advokasi beranggotakan lebih dari 50 pengacara yang bernama Koalisi Pembela Kasus Priok dimana ia duduk sebagai koordinator.

Dengan rekan2 dlm deklarasi adili Soeharto (baju putih ditengah)...
Dengan rekan2 dlm deklarasi adili Soeharto (baju putih ditengah)...

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Pengalaman Organisasi dan Penanganan Kasus

Jalur advokasi yang ia tekuni hingga kini di awali oleh kiprahnya semasa menjabat Ketua Senat Fakultas Hukum Islam di sebuah komunitas advokasi mahasiswa pemuda di Garut yang cukup berpengaruh kala itu. Atas kerjanya yang cukup signifikan ditahun yang sama posisi sebagai Kepala Divisi Advokasi lalu Ketua Dewan Presidum Forum Pemuda Pelajar & Mahasiswa Garut (FPPMG) diamanahkan aktivis yang pernah menjadi penjual koran ini. Maka tak heran dalam kurun waktu tiga-empat tahunnya bersama FPPMG, beberapa kasus seperti: Kasus Selekta LBH Bandung (Konflik tanah petani-pengusaha-militer 1994-1996), Kasus Pameugatan LBH Bandung (Gugatan pembayaran upah buruh PT Perkebunan Gemah Ripah milik Provinsi Jawa Barat 1994-1996, Kasus Sagara LBH Bandung (Konflik tanah petani-perhutani 1994-1996), Kasus karangsari LBH Bandung (Tuntutan ganti rugi tanah masyarakat Garut Selatan terhadap Pemda Kab. Garut 1994-1996), Kasus Copong LBH Bandung (Tuntutan ganti rugi tanah masyarakat Garut Selatan terhadap Pemda Kab. Garut 1994-1996), Kasus Sancang SKEPHI (Perusakan Taman Nasional Sancang Garut Selatan untuk lokasi peledakan amunisi bekas oleh militer 1995-1996), Advokasi YLBHI-LBH Palembang untuk Kasus MUBA, Palembang (Konflik tanah petani-pengusaha 1995), Kasus Kekerasan Mahasiswa UMI Makasar (1995), Kasus Kerusuhan Tasikmalaya (1996), Kasus Kerusuhan 27 Juli 1996, Kasus SUTET Parung, Cibentang Jawa Barat (1997)menjadi bagian dari pengalaman berharganya dalam dunia advokasi.


Sempat membidani kelahiran komunitas cendikiawan muda (MASIKA) ICMI Garut dan duduk sebagai Pjs Ketua 1998, mantan Pemred Majalah kampus 'AKADEMIKA' ini kemudian bergabung dengan Kontras Mei 1999. Di Kontras jam terbang penanganan kasusnya semakin bertambah mulai menjadi Koordinator Tim Advokasi Kasus Pelanggaran HAM Tanjung Priok & Talangsari Lampung (1999-2003), Bom Istiqlal (1999-2000), Penculikan Aktivis 98 (1999-2000), Penembakan Semanggi I dan II (Yap Yun Hap), Sejuta Umat, Dukun Santet Ciamis, Mei/Trisakti 1998, Penembakan Simpang KKA Aceh, hingga Kasus Malpraktek Dokter RSUD DR Soetomo Surabaya.


Aktifitasnya yang sering berada dilapangan tidak membuat dirinya kehilangan kesempatan untuk mengasah analisis kritisnya, hal ini dibuktikan dengan keterlibatannya sebagai pembicara dan trainer mewakili Kontras dalam berbagai diskusi, seminar, workshop dan forum ilmiah lainnya bertemakan kasus-kasus pelanggaran HAM atau segmen akademis lainnya termasuk peran aktifnya untuk ikut merumuskan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran (2000-2003) dan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (2002- 2006)


Selain beberapa aktifitas pribadinya, pria yang sempat melanjutkan kuliahnya di Pasca Sarjana Magister Administrasi Negara, Universitas Garut (1998)ini juga aktif mengajak masyarakat luas untuk terlibat dalam kegiatan advokasi dan gerakan anti kekerasan. Keinginan itu terlihat antara lain dengan keterlibatannya dalam mendirikan Komite Mahasiswa Syari’ah se-Indonesia Anti Kekerasan (KOMUNIKE) bersama Alm. Munir dan Dosen Pasca Sarjana IAIN Jakarta, DR. Bachtiar Effendi (2001) dan pembentukan Jaringan Advokasi Mahasiswa Islam Se-Indonesia (2002) sebuah lembaga advokasi kader HMI yang berbasis di Jawa Barat. Kemampuannya dibidang advokasi terutama kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok membuat Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto yang dibentuk Komnas HAM 2003 mempercayakan riset kasus priok dan talangsari kepada pria lulusan Sekolah Teknik ini.


[sunting] Aktifitas Terakhir

Pada kwartal pertama tahun 2003, mantan koordinator Jaringan Aliansi Penanganan Kasus Tanah Se-Jabotabek (1996-1997)ini, memutuskan mundur dari Kontras dan menerima tantangan untuk mengelola LPHAM pasca mangkatnya HJC Princen, direktur, pendiri dan tokoh kunci lembaga HAM tertua di Indonesia ini. di bawah kendalinya, LPHAM diarahkan untuk menjadi sebuah lembaga yang diharapkan mampu merintis pembuatan Indonesian human rights and internal security archives Project secara komprehensif even hingga kini program tersebut masih terus dijalankan secara swadaya oleh para pengurus LPHAM terutama oleh mantan Deputy Sekretaris Eksekutif Komite Aksi Solidaritas untuk kasus Munir (KASUM) 2005 ini. Selain isu-isu penegakan HAM, LPHAM juga aktif mendorong penegakan hukum dibidang pelestarian lingkungan yang pada oktober 2004 menyelenggarakan serangkaian kampanye penyelamatan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) melalui diskusi, pameran dan sarana sosialisasi lainnya bagi para anggota DPR dan DPD RI hasil pemilu 2004 untuk menentang kebijakan pemerintah yang membangun jalan poros Ladia Galaska yang melewati dan merusak KEL.


Pada awal tahun 2006, mantan koordinator Kampanye Aliansi Ornop untuk menolak Ladia Galaska ini bersama mantan wakil ketua komisi II DPR RI, Hamdan Zoelva, pakar otonomi daerah Ryaas Rasyid, ekonom Faisal Basri, Adi Sasono dan beberapa akademisi lainnya mendirikan Pusat Pemberdayaan dan Pengembangan Otonomi Daerah (The Regional Autonomy Center)dimana ia duduk sebagai Chief Executive. Produk awal lembaga ini antara lain membuat dan menyebarkan beberapa gagasan serta masukan mengenai RUU Pemerintahan Aceh ke pemerintah pusat dan Aceh, birokrasi, LSM dan lembaga lainnya.


[sunting] Riset dan Karya Tulis

Buku “Lingkaran Setan Orde Baru 1995: Sebuah Catatan Kronologis” Garut, Divisi Penerbitan Almamater, Desember 1995, Artikel “Petani dan Politik Pangan Nasional”dalam AKADEMIKA edisi II/X/1997, Artikel “Gurita Korupsi Orde Baru”dalam Masika Pos edisi I/X/98, Artikel “Garut Dalam Peta Perampasan Tanah Orde Baru”dalam AKADEMIKA edisi III/XII/97,Laporan Hasil Penelitian, “Hak Ulayat Dalam Dua Konsep Hukum:Studi Hak Ulayat di Irian Jaya”Garut, Almamater, 1996, Laporan hasil penelitian “Tradisi Meminang dalam Adat Sunda” Garut, Almamater, 1996, Makalah, “Garut dan Skema Ketidakadilan ”, Garut, Almamater, 1996, Artikel, “Garut dan Ketidakadilan: Over view Kasus-Kasus Masyarakat”, Bulettin Kampus AKADEMIKA, Garut, 1997, Artikel “Kasus Priok Sebagai State Terrorism”, Jakarta, Tabloid Adil 1999, Makalah, “UU PKB sebagai Kediktatoran Konstitusional” dalam diskusi Penolakan UU PKB di Universitas Moestopo Jakarta, 1999, ArtikelKejahatan Kemanusiaan diTanjung Priok dan Talangsari”, Jakarta, Tabloid KontraS, 2000, Artikel “Pengungkapan Kasus Talangsari Lampung”, Jakarta, Bulettin KontraS,2000, Ketua Tim Penulisan Buku, “Sakralisasi Ideologi Memakan Korban: Sebuah Laporan Investigasi Kasus Pelanggaran HAM Berat]] Tanjung Priok”Jakarta, KontraS, 2000, Makalah, “Pola Penghilangan Paksa Pada Kasus Tanjung Priok”dalam diskusi publik HMI, Badko Jabar, 2000, Makalah, “Systematic Crime pada Kasus Priok dan Talangsari”dalam diskusi KOMPAK di gedung YTKI, Jakarta, 2000, Kontributor data “Stagnasi Penegakan HAM: Laporan Kondisi HAM 2001”Jakarta, KontraS, 2002, Artikel, “Seleksi Anggota Baru Komnas HAM”dalam Bulettin KontraS, Jakarta, 2002, Makalah, “Kasus Tanjung Priok dan Rekonsiliasi Nasional”dalam seminar Rekonsiliasi Nasional yang diselenggarakan RIDEP Institute Juni 2002 di Jakarta., Work Sheet Paper, AS dan Kasus-Kasus Kejahatan Kemanusiaan di Negara ketiga, Jakarta, Juni 2003, Work Sheet Paper, “Kejahatan Kemanusiaan di Indonesia”, Jakarta, LPHAM, 2003, Work sheet Paper, “Asas Tunggal dan Kejahatan Kemanusiaan”, Jakarta, LPHAM, 2003, Makalah, ”Catatan Perjuangan Korban Priok”, dalam diskusi korban priok, Jakarta, 2001, Artikel, Poncke dan LPHAM, dalam “340 hari Kedikatoran Soeharto: Studi Surat-Surat Protes Princen”Jakarta, Desember 2003. Penyusun Laporan Bag. I Pengkajian Pelanggaran HAM Berat Soeharto KOMNAS HAM, “Kopkamtib, Soeharto dan Kasus Tanjung Priok”, Jakarta, LPHAM, 2004. editor, “Kumpulan Surat-Surat Protes Princen 1990”, Jakarta, LPHAM, 2002. Makalah, “Pasal-Pasal Karet Sebagai Constitutional Dictatorship” dalam Training Advokasi PBHI-UNISBA, Bandung, 26 April 2003, Penulis draft buku, “340 hari Kediktatoran Soeharto: Studi Surat-Surat Protes Princen”, Jakarta, LPHAM, 2005. Penulis Brieifing Paper "RUU Pemerintahan Aceh", The Regional Autonomy Center, Jakarta April 2006.


[sunting] Forum Ilmiah dan Akademik

1995-1996, Regular Trainer Training Advokasi FPPMG, 1996 Peneliti Utama dan Regular Trainer Training Advokasi ALMAMATER, 1997-1998Staf Pengajar dan Regular Trainer Pelatihan Jurnalistik IPEC, 1997-1998 Fasilitator Utama Training Junalistik Pelajar dan Mahasiswa se-Garut. 1999 Ketua Pengarah Simposium “Truth Commission” di Wisma Antara Jakarta, 1999 Narasumber Focus Group Discussion “Pembentukan KKR di Indonesia” yang di sponsori Ford Foundation]]. Di YLBHI Jakarta, 2001 pembicara Workshop “Rekonsiliasi di Indonesia” yang diselenggarakan Research Institute for Democracy and Peace (RIDEP) di Jakarta, 1999-2003 Trainer berbagai Training Advokasi KontraS untuk partai politik, mahasiswa, pemuda, ormas, remaja mesjid dan lain-lain di Jabotabek, Bandung, Yogya dll. 1999-2003 Pembicara berbagai tema kasus pelanggaran HAM berat di Tanjung Priok, Talangsari, Aceh, Ambon untuk partai politik, mahasiswa, pemuda, ormas, remaja mesjid dan masyarakat luas di Jabotabek, Bandung, Yogya dll. 2001 Fasilitator Training Advokasi KOMPAK (Komite Mahasiswa Pemuda Anti Kekerasan), 2001 Fasilitator Workshop pembentukan Lembaga Advokasi Rakyat Indonesia di Garut.2002 Fasilitator Workshop pembentukan Jaringan Advokasi Mahasiswa Islam se-Indonesia. 2003 Fasilitator Training Advokasi dan Penanganan Kasus-Kasus Masyarakat HMI, Se-Jawa Barat. 2002 Peserta ‘Latin America Human Rights Lawyer Meeting’di Jakarta, 2002-2003 Anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perumusan RUU KKR yang digagas ELSAM. 2003 Anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perumusan RUU Perlindungan Saksi dan Korban yang digagas ELSAM. 2003 Koordinator Investigasi Kasus Tanjung Priok ‘Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Berat Soeharto’ KOMNAS HAM. 2004 Anggota Tim Pengkajian I Pelanggaran HAM Berat Pulau Buru Komnas HAM. 2004 Peserta ‘Indonesia-Norway Human Rights Dialog’ di Jakarta. 2005 Peserta dialog ASEAN NGO’s dengan Ketua Komisi HAM PBB di Jakarta. 2005 Peserta Seleksi Calon Anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Departemen Hukum & HAM RI.


[sunting] Achievement

1988-1991 Peserta program beasiswa supersemar STMN 8 Jakarta, 1993-1995 Peserta program beasiswa Yayasan Prof. KH.Anwar Musaddad STAIM Garut. 1996 Ketua Alumni Mahasiswa Hukum Islam STAI Al-Musaddadiyah Garut 1996. 1998 Peserta program beasiswa overseas Student Bappenas.


[sunting] Pranala luar