Kamis, November 15, 2007

Pengangkatan AM Hendropriyono Sebagai Kepala BIN Digugat

Jumat, 09 November 2001, 16:55 WIB

Jakarta, KCM

Korban peristiwa Talangsari Lampung mengajukan gugatan hukum terhadap Presiden Megawati Soekarnoputri meminta Presiden membatalkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 229 Tahun 2001 tentang pengangkatan Letjen AM Hendropriyono sebagai Kepala Badan Intelijen Nasional (Ka BIN).

Gugatan korban Talangsari ini diwakili oleh lima orang korban yaitu, Azwar bin Kaili (58), Suparmo (57), Edy Asyadat (24), Aji Waluyo (24), dan Akmal bin Maulana (28). Mereka mewakili 65 korban Talangsari yang tersebar di Lampung dan Solo.

Gugatan tersebut, Kamis (8/11), didaftarkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta melalui kuasa hukumnya yang berasal dari Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Lampung, Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM Indonesia), dan Komite Solidaritas Masyarakat Lampung (Komite Smalam).

Koordinator kasus Talangsari Kontras Ahmad Hambali menyampaikan hal ini kepada para wartawan di kantor LBH, Jakarta, Jumat (9/11). Didampingi para korban dan Koordinator Komite Smalam Fikri Yasin, Hambali mengatakan, pemerintah telah menyalahi prinsip penyelenggaraan yang baik dengan mengangkat Hendropriyono sebagai Ka BIN.

Sebabnya, Hendro yang diduga kuat terlibat dalam kasus Talangsari sampai hari ini belum dimintai pertanggungjawabkan secara hukum. Hambali khawatir Hendropriyono akan menghambat pemajuan dan penegakkan HAM, khusunya proses pengusutan pelanggaran HAM dalam kasus Talangsari.

"Hal itu pernah dilakukan oleh Hendropriyono semasa menjabat sebagai Menteri Transmigrasi di era Habibie yang turut memfasilitasi terbentuknya apa yang disebut sebagai Gerakan Islah Nasional pimpinan Darsono yang pada akhirnya diketahui bersama, kelompok inilah yang paling kuat melakukan penolakan kasus Talangsari secara hukum antara lain lewat KPP Komnas HAM," jelas Hambali.

Pertengahan September 2001, Darsono bersama kelompok islahnya pernah mendatangi kantor Komnas HAM, Jakarta. Mereka menginginkan kasus Talangsari dianggap selesai sehingga tidak perlu dibentuk KPP lagi.

KPP HAM Talangsari sendiri yang sudah diputuskan dalam rapat pleno Komnas HAM urung berjalan sampai hari ini. Anggota Komnas HAM BN Marbun mengatakan, Komnas HAM akan mengirim tim klarfikasi ke lapangan yang akan menentukan kelanjutan KPP ini.

Selanjutnya Hambali mengatakan, penempatan Hendropriyono sebagai Ka BIN menunjukkan wujud dan sikap pemerintah yang tidak memiliki sense of humanity. Dengan itu, pemerintah dinilai kurang mendukung upaya penegakan hukum dan penghapusan impunity (kekebalan hukum) yang selama ini dinikmati para pelaku pelanggar HAM.

"Pemerintah seharusnya tidak menempatkan orang-orang yang pernah terlibat kasus-kasus pelanggaran HAM berat baik yang sudah maupun yang belum dipertanggungjawabkan kesalahan masa lalunya untuk diangkat sebagai pejabat publik," ungkap Hambali.

Sementara itu salah seorang korban, Azwar bin Kaili menceritakan, pada bulan Agustus 2001 dia pernah didatangi orang berseragam TNI berpangkat Letnan Kolonel. Orang itu datang ke rumah Azwar di Lampung dengan dikawal oleh pasukan CPM dan seorang ajudan. Kepada Azwar orang itu meminta agar tidak mengungkit-ngungkit lagi kasus Talangsari.

Kasus Talangsari adalah tragedi yang terjadi pada tanggal 9 Februari 1989. Di desa Talangsari, Kecamatan Way Jepara, Lampung terjadi bentrokan antara aparat Korem Garuda Hitam (saat itu Kolonel AM Hendropriyono menjabat sebagai Komandan Korem) dengan penduduk setempat.

Korban yang tewas dalam kasus Talangsari menurut versi militer sekitar 30 orang, namun menurut versi penduduk, korban mencapai 280 orang. (mbk)

http://www.kompas.com/berita-terbaru/0111/09/headline/070.htm

Tidak ada komentar: