Kamis, November 22, 2007

Inspirasi

HJC Princen
Perjuangan Adalah Pilihan Seumur Hidup

JAKARTA-Persoalan memilih memang bukan cuma judul buku yang diterbitkan oleh HJC Princen. Itu merupakan akar perjalanan, sekaligus permasalahan dan prestasi yang mengukir sejarah hidupnya.
Bahkan, pilihan di dalam dirinya lah yang sedikit banyak mempengaruhi kesadaran penegakan HAM di Indonesia. Kesadarannya memilih bergabung dengan rakyat dari bangsa yang seharusnya dijajahnya, merupakan awal dari hampir seluruh kisah hidupnya.
HJC Princen adalah orang yang dikenal konsisten dalam perjuangan HAM. Demikian, komentar senada yang terucap dari para pelayat peraih Yap Thiam Hien 1992 tersebut. Bukan karena mereka juga berasal dari dunia yang sama dimana Princen menghabiskan pikiran dan tenaganya. Itulah kenyataannya.
Bermula dari pembelotan ke TNI pada masa perjuangan kemerdekaan dahulu, Princen muda bertarung dengan rekan-rekan sejawatnya di KL.
Tepatnya, 26 September 1948, serdadu muda yang seharusnya bertugas berperang dengan para inlander dan tentaranya yang berperlengkapan apa adanya itu malah bertindak di luar perkiraan rekan sepasukannya. Poncke (sapaan akrab Princen,Red) malah memilih meninggalkan Jakarta dan bergabung dengan musuhnya.
Tak lama, ia pun bergabung dengan pasukan Siliwangi dan ber-long-march dengan divisi tersebut ke Jawa Barat dari Yogyakarta pada tahun 1949.
Pilihan itu diambilnya dengan kesadaran penuh, kelak ia akan bertempur dengan rekan- rekan senegerinya sendiri dan dicap sebagai ”pengkhianat”. Toh, perang di jiwanya yang mempertentangkan nasionalismenya dengan logika bahwa dimana pun penjajah sama, akhirnya dimenangkan dengan pembelotan.

Karirnya sebagai TNI tak lama. Meski ia mendapatkan Bintang Gerilya yang disematkan Presiden RI saat itu, Soekarno di tahun 1949, namun karir militer bukanlah pilihan hidupnya.
Di tahun 1956, ia keluar dari institusi TNI AD, SUAD. Ia lebih memilih untuk berperang di medan tempur lainnya, yang tak kalah serunya dengan medan tempur sesungguhnya.
Ini dibuktikan dengan perjalanan hidup yang tak lepas dari satu penjara ke penjara lainnya di tanah air pilihannya, Indonesia. Belum lagi, ancaman pembunuhan dan caci-maki yang terus mengancamnya sesuai dengan cap ‘pengkhianat’ yang terus melekat di negeri asalnya.
Perjalanan karirnya memang cukup unik. Bagaimana tidak. Selang beberapa lama lepas dari tentara, ia menjadi anggota DPR, sebuah kedudukan yang mulia. Namun, tak lama kemudian ia malah harus menjalani hidup di tahanan, lantaran presiden yang memberikannya Bintang Gerilya tadi, menuduhnya bersekongkol melawannya dengan mendirikan Liga Demokrasi. Princen pun digelandang 2 tahun ke ‘hotel prodeo’ di tahun 1962. Namun, hal ini tidak membuatnya jera.
Ia lantas mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia, sebuah institusi yang tentunya asing buat Indonesia saat itu. Dan, beberapa waktu sesudahnya, ia mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di tahun 1970. Kelak, lembaga ini menjadi salah satu LSM yang disegani, termasuk oleh pemerintah.

Malari
Di masa Orde Baru, ia pun kembali mengecap kehidupan di penjara karena keterlibatannya dengan gerakan yang dianggap membahayakan pemerintah. Atas meletusnya peristiwa Malari 1972, Princen harus menjalani 4 tahun tahanan hingga 1976. Lelaki kelahiran Den Haag 21 November 1925 ini sepertinya tak jera dengan kehidupan keras penjara yang dimulainya saat menjadi penghuni kamp konsentrasi di 7 kota besar di Eropa oleh penahanan Jerman. Hanya berbeda 2 tahun kemudian, ia pun mengecap kembali kehidupan bui meski hanya beberapa waktu lantaran dituduh menggangu Sidang DPR di tahun 1978.
Alhasil, cap Tapol/Napol bukan cuma sekali diberikan kepadanya. Karena itu, tak heran sejumlah diskusi dan seminar yang mengundang atau mencantumkan dirinya semasa Orba, seringkali gagal karena tidak disetujui pihak aparat, terutama menyangkut masalah Pemilu dan penindasan HAM oleh tentara.


Membela PKI
Uniknya, mungkin karena predikat yang sama, ia malah membela para Tapol/Napol G 30 S PKI yang dahulu adalah musuhnya di kala menjadi bagian TNI. Ia pun dikenal sebagai tokoh yang bisa menjadi jembatan antargolongan, dan bisa berkawan dengan semua kekuatan antipemerintahan. Ini dibuktikannya dengan aktif membela para pelaku peristiwa Tanjung Priok. Princen yang unik, seunik namanya dengan gelar haji, namun tetap mempertahankan nama Johannes, salah satu rasul pengikut Yesus. Princen seolah ingin merangkum semua perbedaan dalam dirinya.
Ia pun tak bisa dilepaskan dari perjalanan demokrasi di Tanah Air menjelang kejatuhan rezim Soeharto. Dengan tekun ia menghadiri persidangan-persidangan mereka yang tersangkut kasus 27 Juli 1996. Meski, saat itu kondisi kesehatannya sudah mulai memburuk akibat serangan stroke dan diabetes yang menimpanya. Penyakit itu pula yang memaksanya untuk berkursi roda.
Namun, hal itu bukanlah halangan untuknya. Dengan kondisi demikian, ia masih saja aktif berdiskusi, bahkan menjalani pemeriksaan di Kejagung di tahun 1996 karena keikutsertaannya dalam Konferensi Asia Pacific di Kuala Lumpur untuk kemerdekaan Timor Timur. Tak berlebihan dengan konsistensi tersebut, suami dari Sri Mulyati ini menerima Yap Thiam Hien di tahun 1992.
Kini, pejuang HAM tersebut memang sudah tiada. Penyakit diabetes yang makin parah dan stroke berkelanjutan hingga 6 kali, sebagaimana diceritakan sang istri, telah mengakhiri perjalanan dan perjuangannya dini hari Jumat (22/2) setelah dua minggu dirawat di RS PGI Cikini. Kepergiannya diantar oleh kalangan aktivis HAM dan politisi yang peduli.
Pilihan hidupnya telah menjadikannya sebagai guru bagi banyak aktivis HAM. Sayang, selama ini Princen malah kurang menikmati hasil perjuangannya karena tak berhenti berjuang. Ia tak mau menikmati hak ‘istimewanya’ untuk seorang pahlawan, yakni dimakamkan di TMP Kalibata.
Luhut M. Pangaribuan yang hadir memberikan sambutan menyatakan, Princen tetap tidak pernah menikmati perjuangannya dalam menegakkan HAM. Barangkali begitulah pilihan hidup pahlawan yang sebenarnya: berjuang terus sampai akhir hayat, tanpa peduli dengan imbalan atau kenikmatan. Selamat jalan! (SH/rikando somba)
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0202/23/sh03.html

Tidak ada komentar: