Rabu, November 21, 2007

Makalah

Mewujudkan Perdamaian:

Utopia Atau Realita

Irine H. Gayatri

Disampaikan pada Forum Diskusi Interseksi, “Civil Rights dan Demokratisasi: Pengalaman Indonesia II”, (27-29 Januari 2003, Kuningan, Jawa Barat)

Pengantar

Indonesia merupakan negeri yang sarat dengan konflik kekerasan. Bersamaan dengan transisi politik, semua persoalan yang dihambat atau ditekan pada masa rezim Orde Baru mengemuka. Ketidakpuasan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah tiba-tiba menemukan penyalurannya melalui cara-cara kekerasan fisik dalam bentuk amok, dan konflik komunal. Belakangan, terdapat kecenderungan menguatnya kekerasan oleh kalangan masyarakat sendiri sehingga muncul kesimpulan bahwa kekerasan yang berlarut adalah hasil reproduksi secara sosial melalui proses intemalisasi pengalaman kognitif, setelah pada periode sebelumnya kekerasan lebih didominasi oleh kekerasan negara (state-violence) yang dilakukan secara sistemik melalui institusi-institusi kekerasan. Maka, tak heran jika sampai saat ini, berbagai bentuk kekerasan terus terjadi di berbagai level masyarakat sehingga mempermudah terjadinya letupan konflik vertikal maupun horizontal.

Di satu sisi, sangat tidak mudah untuk menguraikan akar persoalan konflik kekerasan, bahkan menuntaskannya. Di sisi lain, hal ini justru memunculkan "tantangan" baru bagi kita untuk berupaya mencari jalan keluar dengan memikirkan altematif pemecahan persoalan yang sesuai dengan potensi serta komitmen yang dimiliki. Tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk mengulas satu per satu persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konflik, krisis yang memberi "ruang" bagi munculnya konflik kekerasan, serta transisi politik yang berlangsung. Namun, menawarkan suatu agenda posisi kita sebagai peaceworker ataupun peacebuilder yang mcmiliki komitmen untuk mengupayakan altematif keluar dan konflik kekerasan, dan mendorong terbentuknya budaya damai (peace culture) sehingga memungkinkan untuk membawa potensi konflik kekerasan atau konflik kekerasan yang sudah berlangsung ke arah perdamaian yang lebih kooperatif dan positif.

Bahasan akan diawali dengan definisi konseptual mengenai konflik dan beberapa tataran perspektif pendekatan penanganan konflik (resolusi konflik, manajemen konflik, dan transformasi konflik), uraian singkat tentang konflik kekerasan dan transisi politik di Indonesia, sebagai konteks terjadinya konflik kekerasan pada level komunal disertai catatan kaki, dan diakhiri dengan sebuah refleksi mengenai pembangunan perdamaian dan altematif untuk positioning.

Definisi Konseptual

Konflik dan kekerasan merupakan dua hal yang berbeda, jika "konflik" diartikan sebagai "hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki, sasaran-sasaran atau tujuan yang tidak sejalan". Sementara itu, "kekerasan" meliputi "tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih posisinya secara penuh", atau, " sebagai "perilaku yang melibatkan kekuatan fisik, bertujuan untuk melukai, merusak, atau membunuh sesuatu atau seseorang". Dalam tulisan ini, "konflik kekerasan" dimaksud sebagai konflik komunal yang mengakibatkan kerusakan infrastruktur ekonomi, sosial, dan politik, serta menimbulkan jatuhnya korban jiwa.

Di sisi lain, sebenamya konflik merupakan sebuah hal yang niscaya, oleh karena ada kecenderungan dalam setiap individu/kelompok untuk mempertahankan kepentingannya, mengedepankan persepsi masing-masing, dan memiliki nilai-nilai/ tujuan yang berbeda dalam melihat suatu persoalan, serta cara yang berbeda untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Persoalan menjadi lain ketika tujuan-tujuan yang "incompatible" itu saling bertentangan, dan masing-masing pihak tidak dapat mencapai suatu titik kompromi, atau lebih jauh, mencapai kesepakatan dan melakukan kekerasan sebagai ungkapan ketidaksetujuan atau sebagai perwujudan untuk memperoleh kemenangan.

Dalam suatu entitas politik bernama negara otoriter, mengandaikan adanya
"konsensus politik" antara yang memerintah dan diperintah secara sukarela adalah tidak mungkin. Pada masa Orde Baru, misalnya, hampir tidak ada mekanisme lokal untuk menyelesaikan konflik di tingkat masyarakat, oleh karena lembaga-lembaga adat sudah dihancurkan negara. Akhimya, konflik tidak diakomodasi, tidak dilembagakan. Dalam suatukonstruk negara yang ditopang oleh kekuatan modal yang eksesif dan kontrol yang dilakukan oleh aparatus ideologis dan militer, konflik yang tidak terlembaga ini menimbulkan kekerasan, berbentuk tindakan destruktif, bersifat menghancurkan, mematikan dan memakan korban.

Beragam perspektif mengenai konflik telah banyak dikemukakan oleh para ilmuwan dan praktisi. Ada yang menyatakan bahwa bahwa konflik adalah instinctual agression dari manusia itu sendiri yang necessarily evil, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa konflik merupakan hal yang positif untuk perubahan dan/atau perkembangan masyarakat itu sendiri. Konflik dikategorikan berada dalam tiga level atau tingkatan: pertama, pada level individu, kedua, pada level masyarakat/negara, dan ketiga, pada level intemasional. Terdapat berbagai penyebab dan pemicu konflik, yang sangat kompleks dan tergantung pada level mana konflik tersebut terjadi. Yang patut diperhatikan adalah faktor-faktor di balik penyebab tersebut, apakah karena faktor individu manusia yang memiliki sifat agresif ataukah karena sifat masyarakat itu sendiri, ataukah sistem dan pola hubungan di antara mereka (baik lokal maupun intemasional).

Dari perspektif pendekatan untuk menangani konflik, terdapat tiga terminologi yang dominan dan seringkali mengundang perdebatan dalam implementasinya, meskipun satu dan lainnya tidak terlalu signifikan untuk dipertentangkan oleh karena memuat elemen-elemen yang saling melengkapi, yaitu (1) Resolusi konflik, (2) Manajemen Konflik, dan (3) Transformasi Konflik. Ketiga model pendekatan tersebut acap juga dipandang sebagai tahap-tahap dalam suatu proses, dimana satu tahap akan melibatkan tahap sebelumnya, misalnya tahap "resolusi konflik" akan mencakup tindakan-tindakan "pencegahan konflik" atau "conflict prevention".

Belakangan, istilah "resolusi konflik" termasuk yang seringkali digunakan oleh berbagai kalangan baik pada tataran akademik maupun praktis. Isu di balik perbedaan pendapat itu misalnya, dipicu oleh penilaian bahwa "resolusi" konflik mengesankan suatu pendekatan yang "ambisius" jika tidak dapat dikatakan "arogan", seolah terdapat suatu pendekatan yang manjur bagi penyelesaian suatu konflik. Padahal, suatu konflik hampir-hampir tidak bisa diselesaikan secara utuh/sepenuhnya.

Jika dilihat dari nature of conflict, misalnya perbedaan dalam intensitas kepentingan di antara kedua pihak yang berkonflik, maka pendekatan yang lebih "masuk akal" adalah conflict transformation, yaitu mentransformasikan atau menggeser konflik dari tingkat/level yang "mematikan" menuju kepada suatu kondisi yang dapat dikembangkan dengan suatu kerjasama di antara pihak-pihak yang bertikai. Mekanisme utamanya adalah mengalihkan energi masing-masing pihak yang berkonflik kepada situasi baru, dengan mengakui keberadaan konflik dan mengikuti dialektikanya secara alamiah, sehingga tingkat konflik bisa diturunkan dari kondisi waging war sampai kepada kerjasama sampai tercapainya suasana damai. Dalam konteks ini, konflik bukan merupakan suatu keadaan yang isolated, tanpa sebab dan proses. Karena itu konflik selalu melewati siklus yang terdiri dari indikasi awal timbulnya konflik, eskalasi permasalahan, puncak konflik, penurunan konflik, dan keadaan pasca konflik. Pada situasi pasca konflik, tidak tertutup kemungkinan berulangnya eskalasi konflik, tergantung sejauh mana tingkat hostilities yang ada. Selain itu, pendekatan yang lain adalah "conflict management". Istilah manajemen konflik merupakan suatu konsekuensi atas asumsi bahwa konflik itu merupakan suatu hai yang natural di dalam diri manusia, sehingga yang paling penting adalah bagaimana mengatur konflik tersebut untuk tidak masuk ke ambang kekerasan senjata.

Konteks Indonesia

Konflik kekerasan di Indonesia berlangsung bersamaan dengan proses transisi politik setelah krisis finansial yang parah tahun 1997. Namun, jauh sebelumnya, berbagai konflik kekerasan/"violent conflict" telah muncul sejak era prakolonial, kolonial, maupun masa Orde Baru dan periode "reformasi". Beberapa studi telah menunjukkan bahwa basis-basis konflik kekerasan sudah "terlanjur" berurat-akar pada berbagai level, terutama pada level komunal. Inti berbagai kajian itu mencakup identifikasi akar konflik, aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, serta prospek untuk mewujudkan situasi non-konflik, status quo, maupun usulan rekonsiliasi dan perdamaian jangka panjang. Catatan sejarah itu menunjukkan "keakraban" masyarakat Indonesia dengan kekerasan dalam berbagai bentuknya: struktural, simbolik, dan fisik, sehingga negeri ini sempat mendapat julukan "a violent country/culture".

Analisis terhadap akar konflik di Indonesia oleh Colombian dan Lindbland menunjukkan, kekerasan muncul di setiap level masyarakat jajahan, oleh politik kolonial (kasus "urang Rantai" di tambang Ombilin; pemberontakan Haji Hasan di Cimareme terhadap Polisi Kolonial, dan kekerasan di kawasan perkebunan Sumatra Utara). Pada masa itu, kekerasan digunakan oleh negara sebagai suatu instrumen untuk mengalahkan warga masyarakat sendiri, jika pemerintah "absen" dari penggunaan kekuatan paksaan. Kunci untuk memahami kekerasan di Indonesia paska Orde Baru, menurut Lindbland dan Colombijn, adalah dengan memperbandingkannya dengan kasus-kasus kekerasan lain: (1) dengan kasus-kasus lain di Indonesia yang terjadi pada waktu yang bersamaan; (2) dengan kekerasan yang terjadi di negara lain; dan (3) dengan kekerasan yang terjadi di masa lalu. Colombijn dan Lindbland tidak sepakat dengan pendekatan yang hanya membatasi pada Orde Baru sebagai pangkal segala bentuk konflik kekerasan yang terjadi sekarang.

Sementara, dari sudut sejarah geopolitik internasional, Mark Mazower memotret kekerasan di negara-negara pada abad keduapuluh sebagai akibat dari sisi perubahan konteks internasional dalam negara-negara di abad keduapuluh. Dalam "Violence and The State in Twentieth Century" Mazower menyebutkan: "[not] long ago, modernization was thought to lead to prosperity, social -welfare, and stability. When historical sociologists in particular sought to explain episodes of political violence along the path (or paths) to the modern era, they tended to see these as temporary. Both Barrington Moore and Charles Tilly, for instance, stressed the role of coercion and social conflict in modernisation, but only as elements in a process of transition. Of late, however, violence has moved center stage, and the twentieth century is increasingly characterized by scholars in terms of its historically levels of bloodshed". Dari sisi lain, Collins justru mempertanyakan keabsahan klaim bahwa kekerasan merupakan "budaya" Indonesia, dan mengajukan argumen bahwa klaim tersebut semata-mata ditujukan untuk melegitimasi kembalinya state-sponsored violence.

Dengan melihat beberapa sorotan terhadap konflik kekerasan di Indonesia di atas, maka wajar lah jika akhirnya di kalangan masyarakat muncul keragu-raguan bahkan sikap skeptis terhadap alternatif untuk keluar dari konflik kekerasan, jika menyimak catatan tentang konflik dan kekerasan di Indonesia. "[s]udah biasa, kak, di sini kalau satu orang mati ta'ada artinya, kami mengungsi karna tak tahu harus tinggal di mana lagi, di kampong mana, di sini saja ditolak" .

Perdamaian: Utopia atau Realita

Di sisi lain, masyarakat masih menginginkan damai. "Damai" merupakan persyaratan mutlak bagi setiap manusia yang menginginkan rasa aman. Tanpa itu, tidak mungkin seseorang atau sekelompok orang, baik dari unit terkecil dalam masyarakat ataupun bahkan dalam negara, dapat memenuhi kebutuhan sosial, politik dan ekonominya dengan baik. Di satu sisi, ada pihak-pihak yang menarik keuntungan dari sebuah "absence of peaceful situation", oleh karena mereka sangat berkepentingan terhadap "ketersediaan" konflik yang berlarut-larut, dan mayoritas berbentuk kepentingan ekonomi dan/atau politik. Di sisi lain, konsep "damai" pun ternyata kontekstual, jika diletakkan dalam situasi tertentu. Yang dimaksudkan dengan situasi damai dalam tulisan ini, oleh karenanya, bukan sekedar dalam makna yang negatif, relatif tanpa gejolak, atau tanpa konflik. Namun lebih dari itu, sebagai salah satu tujuan dari penanganan konflik. Saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut sebagai pengantar diskusi: (1) Mengapa perlu situasi damai?; (2) Apakah perdamaian sebagai prekondisi bagi rasa aman, yang merupakan hak dasar warga negara telah terpenuhi?; (3) Bagaimana mencapai situasi damai yang "sustainable", apakah faktor pendukung dan penghambatnya?; (3) bagaimana tanggungjawab negara, sekaligus stakeholders di dalam negara?

Paul Wehr, dalam "The Development of Conflict Knowledge" menyebutkan bahwa pada periode sepanjang abad -19 dan 20, kesadaran manusia tentang bagaimana suatu konflik muncul, di samping upaya-upaya untuk menanganinya dengan cara-cara yang konstruktif, semakin bertambah melalui, pada level abstrak dan dan formal, pendidikan di sekolah, forum seminar, dan pelatihan. Di Indonesia, studi untuk menelaah, mengidentifikasi, dan merumuskan usulan atau rekornendasi mengenai penyelesaian kasus-kasus konflik dilakukan baik oleh universitas, lembaga-lembaga penelitian dalam negeri dan intemasional, lembaga swadaya masyarakat, serta muncul dari kalangan pemerintah sendiri.

Oleh Wehr, "gerakan" di atas digambarkan sebagai bukan hanya sekedar "merefleksikan keingintahuan manusia terhadap persoalan konflik" dan bagaimana mewujudkan perdamaian, tetapi lebih jauh, hal ini menggambarkan proses pencarian suatu solusi terhadap semakin bertambahnya skala dan biaya dari konflik antar manusia. Situasi chaos politik, ekonomi, sosial, budaya di Indonesia yang berlangsung sejak 1997, bahkan yang telah memiliki potensi laten pada periode jauh sebelumnya, merupakan "arena" bagi pertarungan kepentingan antar individu maupun antar kelompok dalam negara. Kasus-kasus konflik kekerasan yang menelan kerugian berupa jiwa manusia, harta benda, dan efek kejiwaan berupa trauma telah membuktikan hal itu. Maka, ungkapan Wehr tentang "proses pencarian solusi" di atas sangat tepat jika dikaitkan dengan berturnbuhnya kesadaran berupa upaya-upaya untuk menyelesaikan konflik kekerasan di Indonesia yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara. Selain itu, upaya untuk menangani persoalan konflik sebenarnya justru tergantung dari pihak-pihak yang berkonflik, korban dari peristiwa konflik itu sendiri, di luar kalangan yang selama ini sering diberi atribut "kelompok masyarakat sipil" yaitu kalangan LSM dan mahasiswa.

Salah satu pertanyaan penting muncul berkaitan dengan "pelibatan pihak-pihak yang berkonflik dalam skema resolusi konflik". Asumsinya, jika dilihat dari sisi pemicu dan/atau pelaku konflik, resolusi konflik yang dilakukan melalui kesepakatan-kesepakatan damai, difasilitasi oleh dialog, tidak akan banyak berarti jika aktor-aktor yang terlibat konflik tidak disertakan untuk membangun situasi damai yang berkelanjutan ("sustainable peace building"). Namun, hal ini pun menyisakan sebuah dilema baru. Bagaimana mendesakkan suatu agenda damai melalui perundingan jika negara tidak dapat bersikap adil terhadap pihak-pihak yang dianggap musuh? Sementara, negosiasi mensyaratkan posisi setara bagi kedua pihak yang hendak melakukan negosiasi. Dalam konteks transisi politik, ini bukan hal yang mudah mengingat kalangan "civil society" sendiri dalam keadaan terpecah belah, dan demokratisasi masih berlangsung.

Dalam konflik Aceh, sekedar suatu perbandingan, tidak mudah bagi Jakarta untuk menentukan dengan siapa dialog dilakukan di Aceh, oleh karena GAM tidak hanya terdiri dari satu faksi. Baik pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) maupun pemerintahan Presiden Habibie gagal mengakhiri konflik, sehingga rakyat Aceh kemudian meminta referendum sebagai jalan untuk memutuskan masa depan propinsi tersebut, apakah tetap ingin menjadi bagian dari RI atau menjadi negara merdeka. Status Otonomi Khusus NAD tidak dipandang sebagai altematif positif untuk meredam konflik--kecuali oleh segelintir elite politik di kalangan Pemda Aceh—melainkan justru memicu persoalan baru dengan praktik-praktik pemaksaan terhadap minoritas non Islam di Aceh. Negara, sebagai salah satu aktor di balik munculnya konflik kekerasan berpotensi memicu konflik baru dengan penduduk setempat karena "mendiamkan" persoalan pengungsi. Puluhan ribu jiwa masih tinggal di kamp penampungan di tiga kabupaten di Sumatra Utara (Kabupaten Deli Serdang, Binjai, dan Langkat) paska perjanjian penghentian kekerasan di Aceh.

Kalangan kelompok masyarakat sipil di Aceh yang sempat "terbelah" dengan isu referendum sebagai mekanisme dialog, atau jalan lain menuju kemerdekaan, baru-baru ini saja kembali berada dalam satu front untuk mengkampanyekan perdamaian pasca perjanjian penghentian kekerasan. Pembentukan Trauma Center di Aceh juga tidak akan berarti apapun jika kedua pihak yang bertentangan gagal menerapkan rasa saling percaya sesuai kesepakatan "cessation of hostilities" di Swedia. Bahkan, kecenderungan pemihakan terhadap GAM pada derajat tertentu malah berpotensi memunculkan resiko baru bagi kalangan masyarakat yang sudah lelah didera konflik bersenjata.16 Kerja keras kalangan aktivis LSM di Aceh yang selama ini mengkampanyekan jalur dialog dan anti kekerasan sebagai bagian dari solusi "krisis" Aceh juga tidak banyak mendapat respon oleh pemerintah daerah dan pusat, dan berakhir sebatas kampanye interaktif dan karikatif belaka. Misalnya, dengan menggunakan momentum peringatan Hari HAM sedunia. Namun deniikian, jika kita kembalikan pada perspektif penanganan konflik, dalam kondisi "transisi" dari situasi perang ke arah perdamaian, masih ada celah bagi kalangan aktivis dan penganjur perdamaian untuk merumuskan strategi-strategi baru melalui penguatan elemen-elemen masyarakat. Belakangan, hal ini telah dimulai dengan terbentuknya ASPA (Aliansi Sipil Untuk Perdamaian Aceh).

Selain itu, contoh lain diperlihatkan oleh sebuah analisis mengenai akar konflik dan prospek perdamaian di Ambon. Zona damai yang diciptakan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang bertikai dan difasilitasi oleh kelompok penganjur perdamaian, dengan maksud memulihkan harkat dan martabat manusia di kawasan konflik, di satu sisi tidak diikuti oleh upaya yang setimpal oleh negara (pemerintah daerah dan pusat, serta aparat keamanan dan segelintir elite politik lokal), dan di sisi lain konsep yang digagas oleh kalangan "non-negara" itu juga tidak dilanjutkan dengan membuka peluang lebih besar untuk melakukan kerjasama. Sehingga timbul kesan, bahwa upaya peredaman konflik "didominasi" oleh Perjanjian Malino yang sebenamya hanya bersifat temporer, tidak mengakar. Promosi Malino Agreement sebagai satu-satunya titik tolak perdamaian di Ambon dan Maluku tampak dalam paradigma yang digunakan oleh TPIN Maluku, dan identifikasi akar konflik yang dipersempit dengan "[faktor politik" (adanya pemilihan walikota, bupati, dan gubemur); faktor ideologi (adanya kelompok separatis RMS); dan faktor sosial (jumlah penduduk yang sangat padat terutama di kota Ambon).

Apa yang Mungkin Dilakukan?

Ada poin penting ketika membicarakan soal "perdamaian", yaitu menyangkut persepsi dan interpretasi siapakah yang dominan di dalamnya. Jika Hambali merujuk pada problematika konsep "rekonsiliasi" dalam kasus Tragedi Tanjung Priok, maka hal yang sama dapat diajukan pada konsep "damai" untuk mengakhiri kasus konflik kekerasan itu sendiri. Bukankah militer juga memasang spanduk "damai itu indah" di lokasi-lokasi strategis di sudut-sudut kota dan di pelosok-pelosok desa? Sebuah kesepakatan damai, dalam konflik yang terjadi di level apapun, baik intra state (konflik internal) maupun inter-state (konflik antar negara), seharusnya memuat elemen-elemen "peace building", termasuk di dalamnya upaya penegakan hukum dan perwujudan sikap saling percaya (confidence building measures) di antara pihak-pihak yang berkonflik. Namun, jika instrumen hukum tidak lagi dipercaya oleh masyarakat, padahal keamanan juga merupakan hak warga, maka bagaimana upaya untuk mencapainya? Negara tidak berfungsi semestinya dalam menyediakan situasi aman. Dimanakah posisi stakeholders? Jika kekerasan akhirnya direproduksi oleh kelompok-kelompok "masyarakat sipil", apakah tidak ada lagi masa depan untuk kata "damai" ?

Dalam konteks ini, diperlukan upaya menelusuri kembali langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencapai tujuan perdamaian, terutama dalam konteks pemenuhan hak warga negara akan rasa aman, serta melihat bagaimana upaya untuk mewujudkan mekanisme penanganan konflik, dan signifikansinya untuk mendorong ke arah perdamaian jangka panjang di Indonesia. Apakah kita memiliki alternatif "perdamaian", yang dimaksudkan bukan dalam pengertian "negative peace" yang berbentuk sekedar penghentian kekerasan, melainkan "positive peace" yang disertai partisipasi langsung dari masyarakat untuk mewujudkannya? Pendekatan penanganan konflik manakah yang paling sesuai jika melihat pada kecenderungan bertarutnya konflik,terutama jika melihat akibat yang ditimbulkannya?

Pandangan jangka panjang terhadap konflik itu sendiri setidaknya tergantung pada dua variable: keseimbangan kekuatan, serta kesadaran terhadap keberadaan kelompok-kelompok kepentingan dan kebutuhan mereka yang terlibat konflik; dan pendekatan terhadap penanganan konflik seperti telah disebutkan di muka. Proses penanganan konflik dan upaya untuk mencapai perdamaian dapat dipahami dalam konteks tersebut. Dalam hal ini, peran peace builder terutama diharapkan muncul dari kalangan civil society, atau individu-individu yang memahami persoalan, dan mampu menganalisis dengan jernih setiap konflik yang terjadi, dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Kita dapat memposisikan diri sebagai pihak yang memberikan analisis/konsultasi, langsung melakukan advokasi, atau melibatkan diri sebagai "third party" dalam skema mediasi dan/atau negosiasi, dengan persyaratan kondisi relasi yang seimbang di antara pihak-pihak yang berkonflik.

Sebagai kesimpulan, tujuan utama dan proses pembangunan situasi damai adalah untuk merestrukturisasi hubungan-hubungan sosial yang telah rusak; dan, lebih jauh lagi, menghasilkan sebuah mekanisme penanganan konflik yang adil dan damai, dengan memperhatikan aspek-aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya yang meliputi lokus konflik tersebut. Dari sisi pandang seperti ini, mengedepankan dan membuka potensi konflik laten bukan merupakan "provokasi" atau "menambah" konflik, melainkan merupakan bagian dari proses perdamaian yang lebih luas.

Daftar Pustaka

Buku

Colombijn, Freek, and J. Thomas Lindbland, ed., Roots of Violence in Indonesia, Singapore: ISEAS,2002).

Collins, Elizabeth Fuller, Indonesia: A Violent Culture?, dalam Asian Survey, (University of California, 2002)

Ltderach, John Paul, "Introduction" and "A Framework for Building Peace" dalam "Preparing for Peace: Conflict Transformation Across Cultures" (Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1995), pp 3-23. A Summary by Tanya Closer.

Mazower, Mark, "Violence and State In The Twentieth century", Review Essay, American Historical'Review; October 2002

SuUstiyanto, Priyambudi, Whither Aceh?, dalam Third World Quarterly, 2001,. Vol.22., No.3, h. 437-452.

Makalah dan Dokumen Lain

Baku Bae, "Mayoritas Masyarakat Maluku Mendukung Pendekatan Penyelesaian Konflik dari Bawah", dalam "Tafsir Jajak Pendapat di Maiuku", tt, Maret-April 2002, h. 1-9.

Hambali, Ahmad, "Kasus Tanjung Priok dan Rekonsiliasi NasionaT, makalah dalam workshop "Rekonsiliasi di Indonesia", The RIDEP Institute dan FES: Jakarta, 2001, 29 November 2001

Muna, Riefqi, Resolusi, "Transformasi dan/atau Manajemen Konflik: Suatu Pengantar", makalah dalam Lokakarya Nasional "Perdamaian dan Resolusi Konflik: Strategi dan Aksi Lapangan", CSPS UGM dan SEACSN, Yogyakarta, 17-19 Oktober 2002.


Supriyanto, Akuat, "Paramiliter dan Demokrasi, Pemetaan Atas kelompok Paramiliter Lima Parpol Terbesar di Indonesia", makalah presentasi, NDI, Jakarta, 20 November 2002. Laporan Insiden, FPDRA, 15, 17, dan 20 September 2002.

Laporan penelitian, "Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara" The RIDEP Institute, Jakarta, Januari 2002, h. 99-101.

Laporan, "Risalah Pertemuan TPIN Dengan Narasumber", notulensi Tim Sekretariat TP1N, Jakarta, 4 Juli 2002.

Wehr, Paul "The Development of Conflict Knowledge" Conflict Research Consortium


http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/mewujudkan_perdamaian.html

Tidak ada komentar: